Search

Home / Kolom / Jeda

Pengusaha Kata-Kata

Editor   |    09 Juni 2025    |   03:59:00 WITA

Pengusaha Kata-Kata
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEPERTI kopi yang tiba-tiba terhidang saat pagi masih enggan bicara, Jumat itu sekitar pukul sepuluh, seorang kawan lama datang mengetuk pintu. AW—teman sekantor dulu—muncul dengan senyum yang sama: ramah, sedikit canggung, tapi selalu hangat. Ia datang melamar kerja, setelah melihat poster lowongan yang saya sebar di media sosial dan grup-grup WhatsApp.

Saya baru saja bangun. Masih setengah sadar saat wajah itu muncul di ambang pintu. Sudah tiga atau empat tahun kami tak bersua. Tapi pembawaannya tak banyak berubah: santun, tenang, dan lebih sering mendengar ketimbang bicara.

Dulu kami sekantor di Ubung, di sebuah koran harian lokal yang sempat berjaya—distribusinya menjangkau Banyuwangi hingga Nusa Tenggara Timur. Saya mengasuh halaman politik dan pendidikan, sementara AW meliput pendidikan dan budaya. Ia bukan sekadar jurnalis. Ia juga penulis yang tekun. Empat belas buku telah ditulisnya, dari esai, puisi, hingga catatan reflektif. Ia menulis dalam senyap, tetapi karyanya bicara panjang.

Kami sering ngopi malam-malam di teras belakang kantor, berbagi cerita, keluh kesah redaksi, hingga kabar keluarga yang kadang getir, kadang jenaka.

Satu lagi rekan seangkatannya, GA—berperawakan kecil, lincah, dan penuh akal—juga meliput pendidikan. Kini saya dengar GA telah menjadi redaktur pelaksana di koran itu. Kariernya terus menanjak, dan saya bersyukur mendengarnya.

Pagi itu kami berbincang lama. Meski tanpa secangkir kopi seperti dulu. “Maaf, kopinya habis. Belum sempat beli ke warung,” kata saya agak canggung. “Santai saja, Bli,” sahutnya ringan.

Saya menanyakan kabar GA. “Kalau nggak salah, sekarang dia sudah menulis empat buku, Bli,” jawabnya. Saya teringat betul—ketika GA baru jadi wartawan, ia pernah berbisik, “Tiyang ingin suatu saat bisa menulis biografi saya sendiri, Bli.” Dan sejak awal, saya tahu ia memang berbakat.

AW lalu berbagi cerita. Menulis buku, katanya, bukan cuma soal idealisme. Tapi juga ruang untuk tetap waras. Di tengah tekanan hidup dan ketidakpastian dunia kerja jurnalis, buku menjadi pelampung, sekaligus jendela. “Kita butuh sayap-sayap tambahan, Bli—pekerjaan lain yang bisa bantu kita bertahan,” ujarnya. “GA bahkan menyebut dirinya pengusaha kata-kata.”

Saya tersenyum. Ungkapan itu menarik. Wartawan yang merawat kata, lalu menjadikannya jalan bertahan. Menjual narasi, menyusun makna, menyisipkan harapan dalam tiap halaman.

Kami lalu bicara tentang dunia jurnalisme hari ini—yang tak lagi sama seperti dulu. Kini kami harus pintar menyiasati hidup. Saya pun bercerita bahwa saya berencana mengembangkan lini usaha lain yang masih bersinggungan dengan dunia media: jasa konsultan, penerbitan, hingga kedai kopi. Semua itu bukan untuk mengejar kemewahan, tapi agar tetap bisa hidup dengan martabat. Sebab bagi profesi seperti kami, tunjangan pensiun hanyalah mitos yang tak pernah benar-benar nyata.

Obrolan kami mengalir ke dunia perbukuan. Saya pun akhirnya mengungkapkan niat yang telah lama saya simpan, “Saya juga sedang menyusun buku. Mohon nanti dibantu ya.” Ia mengangguk pelan, senyum tak lepas dari wajahnya. Senyum yang sama seperti dulu, saat kami masih percaya bahwa dari kata-kata yang jujur, kita bisa membangun dunia kecil yang layak dihuni.

Waktu berjalan cepat. Ia pamit pulang. Dan kini kami kembali berada dalam satu ruang redaksi—meski zaman sudah berubah, dan kopi tak selalu tersedia.

Namun satu hal tetap kami percaya: dari kata yang jujur, seperti kopi yang diseduh perlahan, hidup bisa terus bertumbuh—meski pelan, meski sederhana. (*)

Menot Sukadana
Pernah muda, masih ngopi, belum pensiun dari mikir.

 

Baca juga :
  • Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup
  • Lampu yang Tak Pernah Dimatikan
  • Kopi dan Keran Air yang Bocor