ADA yang hening tapi mencemaskan dari langkah lima remaja yang tiba di Teluk Gilimanuk awal pekan ini. Usia mereka masih belasan. Empat laki-laki dan satu perempuan. Tak membawa kartu identitas, tak cukup bekal, dan tak ada penjamin. Yang mereka bawa hanyalah nama palsu dan keberanian tanpa batas—atau barangkali, tanpa arah. Re, Di, Fir, Lov, dan In. Nama-nama ini terdengar seperti inisial dalam buku catatan kasus sosial. Mereka mengaku hendak ke Tabanan menemui kawan. Tapi apa benar sekadar itu? Atau justru, itulah satu-satunya alasan yang bisa mereka beri karena bahkan mereka sendiri tak tahu, sebenarnya sedang menuju ke mana. Perjalanan lima hari dari Pemalang dan Cirebon ke Ketapang mereka tempuh dengan menumpang kendaraan barang. Mereka menyusup masuk Bali lewat pantai, menghindari pintu resmi. Lalu tertangkap warga karena gelagat mereka mencurigakan. Lurah Gilimanuk, Ida Bagus Tony Wirahadikusuma, tak hanya mencatat nama mereka dan memeriksa latar belakang, tapi juga memberi pembinaan. Mereka akan dipulangkan ke daerah asal. Tapi sebelum itu, satu pertanyaan menggantung: apa yang mendorong anak-anak ini meninggalkan rumah tanpa tujuan dan nama? Kita hidup di zaman di mana sistem administratif begitu rapi, namun jiwa-jiwa muda seringkali dibiarkan tak terurus. Mereka bergerak dalam kekosongan makna, meminjam identitas, dan berharap ada ruang untuk mereka di suatu tempat yang tak menghakimi. Dalam bukunya yang ditulis dari reruntuhan penderitaan, Manusia dalam Pencarian Makna, Viktor E. Frankl menulis: "Orang yang memiliki alasan untuk hidup, dapat menanggung hampir segala bagaimana." Mungkin itulah yang belum mereka temukan—alasan. Bukan alasan yang dijelaskan kepada petugas, melainkan alasan yang dijelaskan kepada diri sendiri. Tanpa itu, arah mudah kabur, dan keberanian berubah jadi pelarian. Orang tua barangkali mengira rumah sudah cukup. Sekolah merasa sudah mengajar. Negara merasa sudah menyediakan. Tapi yang dirasakan anak-anak ini mungkin justru ruang kosong yang terlalu senyap hingga akhirnya mereka memilih jalan yang gaduh. Perjalanan tanpa nama ini bukan sekadar pelanggaran prosedur; ia adalah isyarat bahwa ada yang belum selesai di dalam. Dan pagi ini, kopi di cangkir terasa seperti peringatan. Ia tak lagi sekadar hangat. Ia menjadi pengingat bahwa hidup membutuhkan tujuan yang lebih dari sekadar rencana nekat. Kadang, bukan dunia yang kejam—kita saja yang belum mengenal arah pulang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Hak atas Rasa Aman
• Nuturang Hati
• Tembakan di Tengah Aroma