Search

Home / Kolom / Jeda

Hak atas Rasa Aman

Editor   |    16 Juni 2025    |   04:04:00 WITA

Hak atas Rasa Aman
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

Ada suara yang belakangan ini makin sering terdengar di ruang-ruang warga:
“Bali aman untuk siapa, sebenarnya?”

PERTANYAAN ini muncul bukan dari ruang kosong. Ia tumbuh dari kegelisahan yang diam-diam mengendap. Dari warga yang menahan napas karena jalanan makin liar oleh pengendara asing yang tak peduli adat. Dari petani yang tak lagi bisa lewat sawahnya sendiri karena pagar vila. Dari krama desa yang dimaki hanya karena mengingatkan batas kesucian pura.

Angka demi angka menguatkan perasaan itu. Lebih dari 400 WNA dideportasi sepanjang 2024. Kriminalitas yang melibatkan ekspatriat melonjak. Penipuan digital, narkotika, overstay, hingga prostitusi online. Tapi tetap saja, tiap kali ada kekacauan besar—seperti penembakan di vila Munggu yang menewaskan turis Australia—reaksi cepat langsung dijalankan. Negara sigap ketika tamu terganggu. Tapi bagaimana jika yang jadi korban adalah tuan rumah?

Filsuf Albert Camus pernah menulis bahwa kebebasan bukanlah apa yang diberikan kepada kita, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dalam konteks Bali hari ini, rasa aman pun demikian: ia bukan hadiah, bukan fasilitas, dan bukan dekorasi pariwisata. Ia adalah hak yang mesti diperjuangkan—oleh warga, oleh pemerintah, dan oleh siapa pun yang menganggap rumah ini layak dihuni bersama. Namun yang terjadi justru sebaliknya: rasa aman menjadi barang yang diberikan selektif, tergantung paspor dan pengaruh.

Warga Bali, dalam banyak hal, kini hidup dalam realitas seperti itu. Menjadi penjaga, namun tak dilibatkan. Menjadi tuan rumah, tapi perlahan dipinggirkan. Ketika protes muncul dari desa-desa seperti Ubud atau Canggu, itu bukan semata soal budaya yang terusik—melainkan tentang ruang hidup yang makin sesak oleh ketimpangan kuasa.

Ya, kita tidak menolak turis. Kita tidak anti asing. Bali dibangun di atas nilai keterbukaan. Tapi seperti kopi yang terlalu encer, keterbukaan tanpa batas bisa kehilangan rasa. Bahkan, bisa membuat tubuh tak nyaman setelah diteguk.

Hannah Arendt mengingatkan bahwa “hak untuk memiliki hak” adalah fondasi dari semua hak lainnya. Di Bali hari ini, warga lokal seolah hanya memiliki kewajiban: menjaga senyum, merawat budaya, dan memaklumi. Sementara hak-hak mendasarnya—termasuk hak untuk merasa aman—sering kali tidak diakui sebagai hak yang harus dijamin, melainkan sekadar efek samping dari ketertiban yang dijaga demi industri.

Apalah arti pembangunan jika masyarakatnya merasa tak aman di tanahnya sendiri?
Apalah guna promosi pariwisata jika rakyatnya terpaksa diam demi menjaga reputasi?
Dan apalah makna hukum jika ia hanya cepat bekerja saat korban berasal dari luar negeri?

Pariwisata harus tetap tumbuh. Tapi ia perlu disiram dengan keadilan, bukan hanya dengan dana promosi. Kita perlu pengawasan visa yang tegas, edukasi budaya bagi tamu, dan keberanian dari pemimpin lokal untuk tidak tunduk pada tekanan luar. Karena sejatinya, Bali bukan sekadar destinasi—ia adalah rumah. Dan rumah, kata Simone Weil, bukan tempat tinggal, melainkan “suatu keadaan di mana jiwa dapat tenang dalam kehadiran dunia.”

Maka mari kita jaga rumah ini. Bukan dengan marah, tapi dengan jujur. Bukan dengan menutup, tapi dengan bijak. Karena rasa aman bukan sekadar fasilitas untuk pelancong, melainkan hak dasar setiap insan.

Seperti kopi Bali yang disajikan tanpa tergesa, rasa aman pun perlu diseduh dengan kesungguhan. Agar yang kita hirup bukan hanya aroma damai, tapi juga rasa hormat—kepada siapa pun yang lebih dulu tinggal, lebih dulu menjaga, dan lebih dulu percaya bahwa hidup bersama adalah mungkin.

Karena jika rumah ini terus didekorasi demi tamu, tapi lupa menyediakan ruang duduk bagi tuan rumahnya, maka secantik apa pun rumah itu, ia tetap terasa kosong. Dan dalam kekosongan itulah, yang tersisa hanyalah ampas. (*)

Menot Sukadana

   

Baca juga :
  • Nuturang Hati
  • Tembakan di Tengah Aroma
  • Merancang Rumah dari Kata