Search

Home / Kolom / Jeda

Nuturang Hati

Editor   |    15 Juni 2025    |   22:29:00 WITA

Nuturang Hati
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

DI SEBUAH ruangan kecil di Kuta, suara-suara perempuan Bali mengalir tanpa tekanan. Tidak perlu pengeras, karena percakapan mereka tidak butuh dipaksakan untuk terdengar keras. Forum Sakapuan Talks 2025 akhir pekan lalu bukan sekadar diskusi—ia menjadi semacam ruang teduh, tempat perempuan dari berbagai latar saling berbagi tentang hidup yang terus bergerak, sambil tetap menjaga apa yang tak boleh retak: hati.

Tema yang diangkat pun bukan sesuatu yang enteng: “Nuturang Hati – Antara Rumah, Adat, dan Diri Sendiri, Harus Bagaimana?” Tapi tak satu pun narasumber malam itu mencoba memberi jawaban pasti. Karena hidup perempuan Bali memang bukan soal “atau”, melainkan soal “dan”—rumah dan adat dan ruang publik, sekaligus.

Dalam suasana hangat itulah, Ibu Putri Koster bicara bukan soal jabatan, melainkan ketulusan. “Bukan besar kecilnya peran yang menentukan nilainya, tapi seberapa tulus dan ikhlas kita menjalaninya. Kalau kita mencintai diri sendiri, kita akan mampu memberi yang terbaik,” ucapnya, dengan nada yang tidak menggurui, hanya mengingatkan.

Ucapan itu mengalir seirama dengan satu kutipan yang langsung terlintas di kepala saya. Filsuf feminis Simone de Beauvoir pernah berkata: “Perempuan bukan semata dilahirkan, tapi dibentuk—oleh pilihan, pengalaman, dan keberanian menata diri.” Dan mungkin itu pula yang dijalani oleh banyak perempuan Bali hari ini: menjadi, bukan hanya dilahirkan.

Amanda, Putri Indonesia Bali 2025, turut menegaskan hal itu. Ia berbicara dengan keyakinan yang lembut—bahwa setiap perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri, tanpa harus merasa bersalah karena tak sesuai dengan pakem yang diwariskan. “Kita bisa memilih menjadi ibu rumah tangga, aktif dalam adat, atau berkarier. Semua pilihan itu sah dan bermakna, asalkan dilakukan dengan kesadaran dan niat yang tulus,” ujarnya.

Forum itu terasa lebih seperti lingkaran cerita daripada seminar. Tak ada tepuk tangan berlebihan, tapi ada jeda-jeda hening yang seperti undangan untuk merenung. Mungkin karena banyak yang merasa: cerita-cerita itu dekat. Terlalu dekat, bahkan.

Baru setelah itu, seperti kopi yang diseduh pelan di tengah obrolan senja, aroma dari percakapan itu mulai terasa: jujur, reflektif, tidak tergesa. Seperti perempuan Bali itu sendiri—yang tidak banyak menuntut diakui, tapi tak pernah berhenti memberi.

Mereka menjalani hidup bukan dengan ambisi membuktikan diri, melainkan dengan kesadaran untuk tetap utuh. Di rumah, di adat, dan di ruang publik, mereka hadir bukan karena harus, tapi karena memilih untuk tetap mencintai—diri mereka sendiri, dan kehidupan yang mereka rawat setiap hari.

Karena seperti secangkir kopi yang nikmat, hidup yang bermakna tidak datang dari seberapa banyak yang kita tuang, tapi dari ketepatan rasa dan ketulusan menyeduhnya. Dan nuturang hati—menata hati—adalah cara perempuan Bali menjaga agar cinta tetap punya ruang untuk tumbuh, bahkan ketika dunia terus bergerak tanpa henti. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Hak atas Rasa Aman
  • Tembakan di Tengah Aroma
  • Merancang Rumah dari Kata