ADA baju yang dulu begitu kita banggakan. Dibeli dengan susah payah, dikenakan dengan percaya diri, disetrika rapi, dan dipakai ke tempat-tempat penting. Kita ingat betul kapan pertama kali memakainya, pujian yang datang, bahkan aroma parfumnya. Tapi hari ini, baju itu tergantung diam di lemari. Tidak rusak, tidak sobek—hanya tak lagi cocok. Dan pelan-pelan, tanpa kita sadari, tak pernah dipakai lagi. Begitulah banyak hal dalam hidup ini: dulu berarti, kini usang. Bukan karena kita melupakannya, tapi karena kita tumbuh. Apa yang dulu kita perjuangkan habis-habisan, kini hanya tinggal cerita. Apa yang dulu kita yakini sebagai satu-satunya jalan hidup, kini terasa sempit dan ketinggalan. Ada pekerjaan yang dulu kita impikan. Ada relasi yang kita bela mati-matian. Ada keyakinan yang kita pegang seperti agama. Tapi waktu berjalan, dan kita pun berubah. Lalu semua itu tetap ada—seperti baju yang masih tergantung—namun tak lagi kita kenakan. Bukan karena kita tidak menghargai masa lalu, tapi karena kita sudah bukan orang yang sama. Momen-momen seperti ini mengingatkan saya pada pemikiran Zygmunt Bauman, sosiolog asal Polandia, yang mengatakan bahwa kehidupan modern menuntut kita bukan hanya untuk berani memulai, tapi juga berani melepaskan. Di tengah dunia yang cair dan serba berubah, kadang justru keberanian untuk meninggalkan—bukan mempertahankan—yang membuat kita tetap utuh sebagai manusia. Dan keberanian itu sering kali lahir dari kejujuran bahwa kita sudah berubah. Kita tidak lagi pas dengan “baju” lama kita. Dan itu tidak apa-apa. Proses melepaskan ini tidak berarti kita mengkhianati masa lalu. Sebaliknya, justru karena kita menghargainya, kita tidak memaksanya hidup di masa kini. Kita simpan baik-baik sebagai bagian dari perjalanan. Tapi kita juga memberi ruang pada diri sendiri untuk memakai pakaian baru yang lebih sesuai dengan tubuh dan hati kita hari ini. Lalu, ada saat-saat hening ketika saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya masih yang dulu?” Di sanalah, kata-kata Carl Jung menjadi pengingat yang menyejukkan: “Kita bukan apa yang telah terjadi pada kita, melainkan apa yang kita pilih untuk menjadi.” Kalimat ini menguatkan saya bahwa masa lalu adalah tempat belajar, bukan tempat tinggal. Kita boleh mengenang, tapi jangan sampai kita tersesat dalam yang telah lewat. Karena esensi kita bukan pada kenangan, tapi pada pilihan sadar untuk tumbuh. Seperti kopi yang tak selalu kita seruput dari cangkir yang sama, hidup pun tak perlu terus-menerus mempertahankan rasa yang lama. Kadang kita butuh gilingan baru, suhu baru, bahkan cara seduh yang berbeda. Yang penting tetap hangat, tetap jujur, dan tetap bisa menemani perjalanan. Dan baju itu—yang tergantung di lemari—tak perlu dibuang. Cukup biarkan ia diam di sana, sebagai pengingat bahwa kita pernah punya cerita yang berbeda. Dan sekarang, kita punya tubuh yang lain, arah yang lain, tapi dengan hati yang tetap belajar untuk pulang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Rumah yang Ditemukan
• Saat Kata Tak Lagi Didengar
• Perjalanan Tanpa Nama