DI SEBUAH siang yang sepi, saya menatap layar. Lalu mendadak gaduh: dua pengendara motor saling memaki di pertigaan kota. Tak ada bunyi klakson, tapi suara bentakan terdengar seperti pecahan kaca. Tak ada yang ingin kalah. Tak ada yang sudi menunduk. Semua direkam. Semua disaksikan. Semua diberi penilaian. Dan tak satu pun merasa ini sesuatu yang aneh. Barangkali karena kita memang telah terbiasa melihat jalan bukan sebagai tempat berpindah, tapi ajang unjuk kuasa. Ruang yang seharusnya mempertemukan arah, kini malah memperuncing benturan. Saya teringat masa ketika senggolan kecil di jalan hanya akan melahirkan dua hal: permintaan maaf dan teh botol dingin. Mungkin tahun-tahun itu tak terlalu baik, tapi masih menyisakan jeda sebelum suara meninggi. Masih ada ruang untuk bertanya lebih dulu: “Bapak tidak apa-apa?” Kini? Sebaliknya. Bukan hanya jalan yang padat. Mungkin sebabnya sederhana: kita terlalu cepat menyangka bahwa marah adalah satu-satunya bentuk keberanian. Bahwa teriakan lebih didengar ketimbang keteduhan. Tapi Seneca—seorang filsuf dari masa jauh sebelum kamera dan klakson—pernah menulis: kemarahan, jika tak dibendung, lebih menyakitkan dari luka yang menyebabkannya. Dan kalimat itu, entah kenapa, masih terdengar sangat hari ini. Kita tak lagi membesarkan kesadaran, tapi reaksi. Padahal kita hidup di Bali—pulau yang katanya disukai dunia karena senyum dan sapa. Di Jepang, sopan santun di jalan raya bukan cuma kebiasaan, tapi budaya yang tertanam sejak kecil. Seorang pengemudi akan turun dari mobil jika merasa membuat pengendara lain terganggu—dan membungkuk, meminta maaf. Tidak ada yang bersuara tinggi. Tidak ada bentakan. Bahkan menurut studi Japan Automobile Federation (JAF), lebih dari 90 persen pengendara di Jepang menganggap penting memberi isyarat maaf di jalan. Bukan karena takut, tapi karena tahu hidup bersama berarti saling menjaga ruang. Di Eropa, terutama di negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia, budaya yielding atau mendahulukan orang lain adalah norma. Di sana, sopan santun bukan kelemahan, melainkan kekuatan sosial. Dalam riset European Road Safety Report (2023), negara-negara itu tercatat sebagai yang paling sedikit mengalami konflik antar pengendara. Lalu kita? Kita menyebut diri ramah, tapi mengeraskan suara hanya karena merasa tersinggung. Kita mengaku punya adat, tapi kadang gagal dalam hal paling kecil: mendahulukan pejalan kaki, atau menepi saat ambulans datang. Barangkali kita sedang lelah. Bukan oleh kemacetan, tapi oleh hidup yang makin sempit. Maka sesekali, barangkali kita perlu pulang. Bukan ke rumah, tapi ke dalam. Marcus Aurelius, Kaisar yang lebih dikenal karena diamnya, pernah menulis dalam catatan pribadinya: Karena jalan raya, sesungguhnya bukan arena paling keras suara yang menang, tapi ruang bagi mereka yang bisa menahan diri. Mungkin kita perlu ingat satu hal yang sederhana: Jangan jadikan jalan sebagai tempat adu kuasa. Sebab dunia sudah terlalu gaduh, Kadang cukup dengan diam sejenak, Seperti secangkir kopi yang tak perlu terlalu manis, Menot Sukadana
Baca juga :
Belum sempat bertanya, kamera sudah menyala.
Belum sempat meminta maaf, jempol sudah memviralkan.
Dan sebelum akal sempat menimbang, mulut sudah saling memaki.
Tangan terangkat. Dada mengembang.
Tubuh bereaksi, bukan karena luka—tapi karena ego yang rapuh.
Kepala kita pun sesak.
Tak lagi memperbaiki, tapi menghukum.
Tak lagi melihat manusia, tapi lawan.
Senyum itu masih ada, tapi seperti embun di kaca: mudah hilang.
Kita sibuk mencari ketenangan di luar, padahal ia kerap tak lagi tinggal dalam diri.
Kita lapar akan pengakuan, dan marah jadi cara tercepat untuk merasa ada.
Ke tempat sunyi yang lama kita tinggalkan.
balasan terbaik adalah tidak menyerupai orang yang menyakiti kita.
Itu kalimat pendek. Tapi seperti jendela: kecil, namun membukakan langit.
setiap orang yang kita temui di jalan, sedang menuju pulang.
Entah dari pasar, kantor, atau sekadar dari kelelahan yang tak bisa diceritakan.
Jadikan ia ruang saling mengerti.
dan kita tak perlu menambahinya dengan makian dan klakson yang tak sabar.
tarik napas, beri senyum—
dunia bisa terasa sedikit lebih teduh.
asal hangatnya sampai. (*)
• Menepi Sebelum Dikejar Waktu
• Ayah yang Tak Selesai
• Menjadi Seni Itu Sendiri