Search

Home / Kolom / Jeda

Masakan dan Waktu

Editor   |    24 Juni 2025    |   03:26:00 WITA

Masakan dan Waktu
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

PAGI belum genap terang. Tapi dari dapur di rumah kecil itu, aroma bawang tumis sudah menyusup ke ruang tengah. Seorang ibu berdiri di hadapan kompor. Matanya masih menyimpan sisa kantuk, tapi tangannya tangkas. Ia bukan ibu rumah tangga sepenuhnya—ia pegawai kantor, berangkat pukul delapan, pulang jelang senja. Tapi sejak dulu, ia selalu bangun sebelum fajar, dan memilih dapur sebagai tempat pertama yang ia datangi.

Beberapa waktu lalu, ia bercerita kepada saya. Dengan suara lirih, namun menyiratkan kebanggaan yang tak disuarakan berlebihan. “Anak-anak saya sekarang kuliah. Tapi kalau ditanya tempat makan favorit, mereka tetap jawab: rumah.” Ia tertawa kecil. “Mungkin karena dari kecil mereka biasa makan masakan saya. Bahkan waktu saya harus lembur malam, saya tetap bangun subuh buat masak.”

Saya hanya mengangguk. Tapi dalam hati saya tahu: cerita itu bukan tentang makanan. Ini soal waktu yang dipilih untuk dihadiahkan. Tentang cinta yang tidak melulu bicara, tapi hadir lewat piring yang hangat di meja makan.

Di situ saya teringat satu kalimat dari Simone Weil—filsuf Prancis yang hidup dalam keheningan: “Perhatian adalah bentuk paling murni dari kemurahan hati.” Dan perhatian itu, barangkali, adalah bumbu utama dalam tiap masakan seorang ibu. Bukan tentang lauk yang mewah, tapi tentang siapa yang lebih dulu terjaga, agar yang lain bisa berangkat tanpa lapar.

Ibu itu tahu, anak-anaknya tak akan selamanya di rumah. Mereka akan pindah ke kota lain, punya dunia sendiri, mungkin kelak lebih akrab dengan dapur waralaba atau masakan kekasih. Tapi selama masih bisa, ia memilih hadir. Lewat tumis bayam. Lewat suara sendok kayu yang menepuk teflon. Lewat dapur yang tak pernah sepenuhnya tidur.

Saya pun jadi teringat ibu saya sendiri. Dulu, saya sering mengeluh karena lauknya itu-itu saja. Tapi kini, justru rasa yang paling sederhana itulah yang diam-diam menetap dalam ingatan—menjadi semacam rumah dalam kepala. Tempat saya pulang ketika hari-hari terasa terlalu asing.

Kita memang sering tak sadar bahwa cinta kerap hadir dalam bentuk yang nyaris tak terlihat. Dalam bekal yang dibungkus koran. Dalam segelas teh manis sebelum berangkat sekolah. Dalam bunyi centong yang terasa biasa—namun kehilangan yang paling sunyi justru hadir dari hal-hal semacam itu.

Maka saya mengerti mengapa Albert Schweitzer pernah menulis: “Teladan bukanlah hal utama dalam memengaruhi orang lain. Ia adalah satu-satunya.” Dan ibu itu, dengan dapur kecilnya, telah memberi teladan tanpa suara. Ia tak mengajarkan cinta. Ia menjalani cinta.

Masakan bukanlah peristiwa besar. Tapi ia mengandung sesuatu yang tak bisa dipalsukan: waktu yang dipersembahkan, dan kehadiran yang dipilih berulang-ulang. Bukan karena ada yang menyuruh. Tapi karena ada yang ia jaga: sebuah rumah, sebuah kebiasaan, sebuah rasa yang ingin terus tinggal.

Karena cinta yang dipanaskan tiap pagi, akan tetap hangat meski kita sudah jauh dari rumah. (*)

Menot Sukadana

 

Baca juga :
  • Jalan Raya, Kepala yang Sesak
  • Menepi Sebelum Dikejar Waktu
  • Ayah yang Tak Selesai