Search

Home / Kolom / Opini

Kurikulum Cinta

Editor   |    24 Juni 2025    |   06:39:00 WITA

Kurikulum Cinta
Gembong Ismadi. (dok/pribadi)

CINTA tidak memiliki definisi yang baku. Ia sesuatu yang multitafsir, multidimensi, dan sering kali sangat individual dalam penerapannya. Lantas, bagaimana saat cinta itu dibawa dalam ranah dunia pendidikan seperti yang dilakukan Kementerian Agama?

Dalam terjemahan bebas, cinta bisa berarti perasaan kasih sayang yang mendalam, ketertarikan, dan kelekatan emosional terhadap seseorang, benda, atau bahkan suatu konsep. Dengan berbagai arti itu, tidak salah cinta disebut memiliki sifat universal. Cinta bisa diusung dalam ekspresi individu, kelompok, ataupun lembaga formal.

Kurikulum berbasis cinta mulai dikenalkan Kementerian Agama sebagai pokok ajaran untuk mendidik murid-murid madrasah di berbagai jenjang sekolah sekitar bulan Februari 2025. Tidak sekadar perkenalan tanpa konsep, kementerian tersebut menyusulnya dengan modul dan metode penerapan kurikulum ini secara bertahap pada lembaga pendidikan di bawahnya.

Secara garis besar, lewat kurikulum tersebut Kementerian Agama ingin membangun cinta generasi terhadap Tuhan, manusia, lingkungan, dan bangsa. Sekilas, sesuatu yang sederhana dan klise, namun faktanya cinta terhadap empat hal tersebut lebih kompleks dari yang dibayangkan.

Karena cinta lekat dengan rasa pada diri manusia, untuk mendekatkan dua objek dalam bingkai cinta juga harus dengan pendekatan perasaan. Dalam konteks kurikulum berbasis cinta, tersambungnya rasa itu bisa dilihat dari perilaku guru dan murid di dalam dan luar sekolah.

Degradasi Adab

Seorang guru sekolah dasar pernah bercerita. Dia terpaksa mengeluarkan salah satu muridnya dari ruang kelas karena terus membuat keributan meski sudah berkali-kali diingatkan dan ditegur. Sambil keluar kelas, murid kelas empat itu menendang pintu seraya mengumpat. Dan guru itu hanya bisa diam, takut jika dia ambil tindakan lebih lanjut akan berurusan dengan hukum, orang tua murid, juga hujatan.

Cerita itu hanya satu dari banyak peristiwa adab murid terhadap guru. Jika di sekolah sebagai salah satu sumber peradaban muncul perilaku-perilaku yang tidak beradab, maka memang generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Ada degradasi adab dan cinta antara pendidik dan peserta didik.

Zaman memang menumbuhkan generasi masing-masing. Tapi sepanjang zaman pula adab menjadi penopang utama peradaban manusia—atau bahkan eksistensi manusia. Artinya, menempatkan adab sebagai sesuatu yang tidak penting sama halnya dengan meruntuhkan peradaban.

Barangkali dalam ide besar menjaga peradaban itulah Kementerian Agama berusaha mempraktikkan kurikulum pendidikan berbasis cinta. Cinta kepada Tuhan, manusia, lingkungan, dan bangsa merupakan perilaku adab yang utuh.

Adab yang utuh itu pula yang menjadi semangat bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, saat mendirikan Taman Siswa. "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (Di Depan Memberi Contoh, Di Tengah Memberi Semangat, Dan Di Belakang Memberi Dorongan)." Dari semboyan itu, jelas tugas seorang guru adalah memberi contoh, semangat, dan dorongan—yang tentu sesuai situasi, kondisi, dan zamannya.

Cinta

Cinta yang tulus ibarat anugerah sekaligus kutukan. Cintalah yang membuat manusia berjuang melebihi batas kemampuannya. Cinta pula yang sering membuat manusia berbuat di luar nalar. Ketika jatuh cinta harus siap berjuang dan berkorban.

Perjuangan, pengorbanan, dan konsistensi pula yang dibutuhkan dalam penerapan kurikulum berbasis cinta. Sebagai kurikulum yang menyentuh sisi paling personal dan privat pada manusia, implementasi awal kurikulum ini adalah menumbuhkan rasa cinta.

Menumbuhkan rasa cinta dalam dunia sekolah tentu berbeda dengan cinta dua sejoli. Sifat cinta yang intuitif membuatnya fleksibel. Dia bisa tumbuh secara naluriah maupun ditumbuhkan lewat sistem, lingkungan, bahkan kurikulum.

Khusus kurikulum berbasis cinta Kementerian Agama, bukan hal yang mudah dan cepat untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan adab membutuhkan proses yang lama dan konsisten hingga "sistem" cinta itu menjadi kultur di madrasah.

Dan bukankah menyandingkan kurikulum mata pelajaran sebagai teori dengan kurikulum cinta sebagai perilaku adalah ide yang mulia?

Gembong Ismadi (Jurnalis tinggal di Jembrana, Bali)

Baca juga :
  • Wisuda yang Belum Sarjana
  • Nelayan Yang Sekolah
  • Sampah Plastik