Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Jejak Maestro dalam Panggung PKB

Editor   |    25 Juni 2025    |   07:21:00 WITA

Jejak Maestro dalam Panggung PKB
Penampilan Duta Kesenian Kota Denpasar pada Pembukaan PKB ke-47. (foto/sukadana)

AROMA kamboja dan bayangan panggung tua masih melekat kuat dalam ingatan I Wayan Dibia. Lebih dari empat dekade lalu, ia berdiri di tengah gemuruh penonton saat sendratari Ramayana Tujuh Kanda mengalun megah dalam PKB perdana tahun 1979. Sejak itu, ia bukan hanya pelaku, tetapi juga saksi hidup perjalanan Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai ruang jaga identitas dan warisan leluhur.

PKB lahir dari keprihatinan mendalam Gubernur Bali saat itu, Ida Bagus Mantra. Ia melihat modernisasi dan geliat pariwisata perlahan menjauhkan masyarakat dari akar budayanya. Sebagai budayawan sekaligus pemimpin visioner, Mantra memprakarsai PKB pada 20 Juni 1979 sebagai jawaban atas krisis pelestarian seni tradisi. Ia ingin budaya Bali tidak hanya dikenang, tetapi dihidupi dan diwariskan melalui ajang tahunan yang terstruktur dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.

“Desa adat kita ibarat perpustakaan hidup. Setiap desa memiliki struktur dan kekhasan seni yang luar biasa,” ujar Dibia dalam sesi Podcast Creative Talk PKB 2025, Senin (23/6/2025) di Denpasar.

Dari awal, PKB tidak hanya menampilkan tari dan tabuh. Ia tumbuh sebagai ensiklopedia hidup budaya Bali yang mencakup seni rupa, sastra, kuliner, kerajinan, hingga forum ilmiah. Taman Budaya Art Centre Denpasar dipilih sebagai panggung utama, sekaligus simbol tekad Bali menjaga keutuhan nilai budaya dalam ruang publik.

Dibia, yang saat itu masih muda, langsung terlibat dalam garapan kolosal pembuka. Ia kemudian dipercaya sebagai koordinator pergelaran tahun 1985. Sejak itu, ia konsisten menggali seni dari desa-desa, memperkuat konsep PKB sebagai ruang ekspresi desa adat dan arena regenerasi.

Menurutnya, Peed Aya atau pawai pembukaan bukan hanya seremoni. Ia adalah simbol alih generasi. Anak-anak muda diajak tampil, berlatih, dan merasakan panggung seni yang berpijak pada akar sendiri. Tema PKB 2025, Seni Semesta Raya, disebutnya sebagai dasar kurasi kontingen yang harus menjaga karakter masing-masing wilayah.

“Kita batasi agar tidak seragam, tapi tetap memberi ruang kreativitas sesuai jiwa masing-masing desa,” katanya.

Dibia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara seni sakral dan seni pertunjukan. Ia mencontohkan seni wewalian, yang dalam proses pengembangan tetap harus menjaga roh kesakralannya meski dipentaskan secara teatrikal.

Dalam pendekatannya sebagai kurator, Dibia memakai prinsip pelestarian dan pengembangan dalam porsi seimbang. Enam puluh persen pelestarian untuk menjaga tradisi tetap hidup, dan empat puluh persen pengembangan agar seni tak beku dalam zaman. Ia juga menilai minat internasional terhadap PKB bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk menunjukkan jati diri Bali ke dunia.

“Kesenian bukan hanya untuk hidup saya, tapi memang bagian dari hidup saya. Lewat PKB, saya menyaksikan langsung regenerasi yang berjalan penuh harapan,” ucapnya.

Kini, PKB tak lagi sekadar festival. Ia telah menjadi ritual tahunan yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Di tangan para seniman dan desa-desa adat, mimpi Ida Bagus Mantra itu terus menari.

(sukadana/suteja)

 

Baca juga :
  • Anom Ranuara: Teater, Hidup yang Diperankan Sepenuh Jiwa
  • Kadek Sonia dan Makna Literasi Emosional
  • Miroslaw Wawrowski, Lelaki yang Menanam Bali di Polandia