HUJAN deras turun tanpa ampun di langit Denpasar, Rabu 26 Juni malam. Sebagian besar penonton di Panggung Terbuka Ardha Candra sudah memilih pulang, sembari merunduk melindungi kepala mereka dari lebatnya air. Namun, di tengah basahnya malam itu, sekelompok anak dari Buleleng justru melangkah maju ke panggung. Mereka adalah sekeha Gong Kebyar Anak-Anak Sanggar Seni Manik Uttara, duta Provinsi Bali dalam ajang Pesta Kesenian Bali ke-47. Setelah tampil penuh semangat di dua bagian awal, Tabuh Kreasi Damana dan Tari Magrumbungan, mereka seharusnya menutup dengan Dolanan Majukung-jukungan. Tapi hujan turun makin deras. Sound system dimatikan total oleh panitia demi keamanan peralatan. Di tengah panggung yang basah dan nyaris sunyi, sang ketua sanggar, Kadek Sefyan Artawan, menghadapi pilihan sulit. Membatalkan penampilan atau membiarkan anak-anak tetap tampil meski tanpa pengeras suara. "Lebih baik basah kuyup sekalian, daripada kecewa karena tidak jadi tampil," ujarnya saat memberi izin anak-anak melanjutkan pentas. Sefyan bahkan memanggil penonton yang tersisa untuk mendekat ke panggung agar dialog dolanan bisa terdengar langsung. Sekitar pukul 22.00 WITA, pentas dilanjutkan. Anak-anak itu melompat ke atas karpet merah yang sudah tergenang, memainkan dolanan mereka dengan riang dan penuh semangat. Tak ada musik menggelegar, tak ada suara dari pengeras, hanya tabuh ringan, suara hujan, dan tawa anak-anak yang bergema di malam itu. Tertawa di Panggung Tidak satu pun dari mereka terlihat ragu. Mereka menari sambil hujan-hujanan, sesekali melompat dan memercikkan air, seolah panggung itu adalah halaman rumah sendiri. Penonton yang masih bertahan membalas dengan sorak sorai dan tepuk tangan. Bukan sekadar karena pentas itu lucu atau menarik, tapi karena anak-anak ini menolak tunduk pada keadaan. Video cuplikan penampilan mereka segera menyebar luas di media sosial. Akun @bulelengpaten membagikannya, disambut ratusan komentar penuh pujian. "Bangga sekali sama adik-adik semuanya," tulis akun @arjunasutedjaa. "Singaraja Kota Petarung. Jangankan hujan, api ade jeg kerobok deen!" tulis akun lain, @baleganjur_terkini. Bahkan komentar dari @agungrahmaputra menyentuh sisi infrastruktur kesenian Bali. "Ke depan, Bali harus punya stage terbuka yang bisa ditutup otomatis jika hujan. Bagaimanapun sebuah kebanggaan tampil di PKB, jangan sampai sirna karena terhalang hujan. Kalian semua tetap metaksu" Semangat Tetap Menyala Bagi anak-anak Sanggar Manik Uttara, malam itu mungkin bukan panggung termegah yang pernah mereka jalani. Tapi justru karena keterbatasan dan cuaca yang tidak bersahabat, penampilan mereka menjadi simbol. Kesetiaan terhadap seni dan latihan tidak boleh kalah oleh cuaca. Latihan selama berbulan-bulan jangan dibatalkan hanya karena langit sedang tidak bersahabat, ucap Sefyan usai pentas, dengan mata masih berkaca-kaca. Apa yang mereka lakukan malam itu bukan hanya penampilan dolanan. Itu adalah pelajaran tentang komitmen, ketulusan, dan keberanian. Dalam dunia seni, terutama bagi anak-anak, taksu sejati lahir dari hati yang bersedia basah bersama impian. Dan hujan malam itu hanya menambah dramanya. (adi/suteja)
Baca juga :
• Jejak Maestro dalam Panggung PKB
• Anom Ranuara: Teater, Hidup yang Diperankan Sepenuh Jiwa
• Kadek Sonia dan Makna Literasi Emosional