AKU membuka kembali rak buku. Tanpa sengaja, tanganku menyentuh sesuatu yang lama: Buku Latihan Tidur. Joko Pinurbo. Sampulnya masih utuh. Halaman-halamannya sedikit menguning. Waktu telah lewat, tapi puisi itu tetap tinggal. Kita adalah lelah, Hanya dua baris. Tapi seperti desir di dalam dada. Pelan, tapi menusuk. Saya membaca ulang. Lalu diam. Lalu membacanya lagi. Dan mendadak merasa: mungkin saya juga bagian dari baris itu. Seperti banyak orang lain, yang tak selalu ingin sembuh. Yang diam-diam memilih menyimpan letih dalam dada, bukan karena tak ingin pulih—tapi karena sudah terlalu terbiasa tinggal di sana. Joko Pinurbo, atau Jokpin, selalu seperti itu. Menulis sesuatu yang sederhana. Tapi tak pernah remeh. Puisinya kadang tentang celana, tentang kamar mandi, tentang tidur—tapi bukan itu yang ia bicarakan sebenarnya. Ia bicara tentang kita. Tentang yang kita tahan, yang tak kita ucapkan. Dan kali ini, ia menulis tentang lelah. Bukan lelah tubuh. Tapi lelah yang lain. Yang tak kelihatan. Saya tidak ingin mendefinisikan apa itu lelah. Tapi saya tahu bentuknya. Ia hadir di pagi hari, saat kita enggan membuka jendela. Ia tinggal di malam yang terlalu panjang, meski lampu sudah dipadamkan. Ia hidup dalam kalimat, “nggak papa,” yang kita ucapkan berkali-kali—padahal tidak benar-benar baik-baik saja. Seorang filsuf tua dari Jerman pernah menyindir, bahwa bahkan para dewa pun tak kuasa melawan kebosanan. Friedrich Nietzsche menulis: “Bahkan para dewa pun berjuang sia-sia menghadapi kebosanan.” Dan mungkin memang begitu. Bukan penderitaan besar yang paling melelahkan dalam hidup—melainkan kekosongan kecil yang datang berulang, diam-diam, tanpa suara. Kita menyembunyikan kelelahan itu. Kita terus berjalan, seperti tak terjadi apa-apa. Dan orang-orang di sekitar pun tak bertanya. Mereka mungkin sibuk dengan lelahnya sendiri. Ada satu kalimat lama yang sering dikutip—seringkali salah disandarkan pada Plato, padahal ditulis oleh seorang pendeta Skotlandia bernama Ian MacLaren. Ia menulis, “Bersikaplah lembut, sebab setiap orang yang kau temui sedang bertarung dalam pertempurannya sendiri.” Saya pikir, kalimat itu tidak pernah kehilangan maknanya. Bahkan ketika ia berpindah-pindah mulut tanpa kejelasan asal, ia tetap menemukan rumah dalam rasa kita masing-masing. Tapi bahkan kelembutan pun butuh tempat. Dan dunia sekarang sering terlalu bising untuk mendengar sesuatu yang sunyi. Maka kita belajar menyimpan. Diam menjadi cara bertahan. Sampai akhirnya kita lupa bahwa diam juga bisa melukai. Tapi kita tidak harus terus begitu. Tak semua luka harus ditutup cepat-cepat. Kadang, mengaku lelah pun sudah cukup. Rainer Maria Rilke, penyair yang merawat kesunyian lewat surat-suratnya, pernah menulis bahwa cinta sejati bukan tentang saling menguatkan tanpa henti, tapi tentang menyediakan ruang—agar dua jiwa bisa berdiri sendiri, dan tetap memilih kembali. Saya kira, itu juga berlaku untuk diri sendiri. Kita bisa belajar menjadi tempat pulang bagi tubuh dan hati kita sendiri, jika berhenti memaksa diri untuk selalu tampak kuat. Saya tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan lelah semacam ini. Tapi saya percaya: di antara semua hal yang hilang hari-hari ini, yang paling dibutuhkan kadang hanyalah seseorang yang tidak buru-buru menilai. Yang cukup duduk diam di sebelah kita. Yang cukup berkata, “Aku tahu rasanya.” Kita tidak harus selalu pulih hari ini. Tidak harus menang setiap saat. Tidak harus kuat setiap waktu. Karena menjadi manusia bukan soal sempurna. Tapi soal tetap tinggal, bahkan ketika letih mulai menjadi nama tengah kita. Dan jika nanti ada yang bertanya, kenapa kau tak juga sembuh, kau bisa menjawab: Menot Sukadana
Baca juga :
yang enggan dipulihkan.
Sebab aku sedang belajar mendengar tubuhku sendiri. Dan ia sedang berkata: izinkan aku lelah sebentar saja. (*)
• Harga Sebuah Perang
• Masakan dan Waktu
• Jalan Raya, Kepala yang Sesak