BALI selalu punya cara untuk menjawab zaman. Di tengah kelesuan global pariwisata konvensional, pulau ini menemukan denyut baru dari dalam tubuh dan jiwa: wellness. Momentum Bali Wellness and Beauty Expo 2025 yang digelar perdana di Denpasar bukan sekadar pameran, melainkan langkah deklaratif untuk mengukuhkan Bali sebagai destinasi wisata kesehatan dan kebugaran kelas dunia. Angka-angka global telah bicara. Menurut Global Wellness Institute, nilai pasar sektor ini akan menembus 9 triliun dolar AS pada 2028. Di Asia Pasifik, angkanya telah mencapai 1,9 triliun dolar AS tahun lalu. Indonesia, khususnya Bali, punya semua modal dasar: lanskap tropis yang menenangkan, budaya spiritual yang hidup, praktik yoga dan spa yang telah mendunia, serta fasilitas medis yang mulai bertumbuh. Namun, angka saja tidak cukup. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata telah menyatakan komitmen kuat untuk mendorong transformasi ini. Dari data resmi, lebih dari 23 persen wisatawan ke Bali kini menjadikan wellness sebagai bagian dari perjalanan mereka. Ini bukan ceruk kecil. Ini pertanda. Peresmian Kawasan Ekonomi Khusus Sanur sebagai pusat layanan medis terpadu, serta kehadiran fasilitas seperti NgoerahSun Wellness Center, menjadi bukti nyata. Tetapi agar transformasi ini bukan hanya sesaat, perlu kesinambungan antara niat, kebijakan, dan praktik di lapangan. Wellness bukan sekadar produk. Ia adalah pengalaman, kepercayaan, dan rasa aman, baik medis, spiritual, maupun lingkungan. Dalam hal ini, keterlibatan komunitas lokal harus menjadi pondasi. Sebab kekuatan wellness Bali lahir bukan dari hotel bintang lima, melainkan dari filosofi hidup yang sudah lama membumi di desa-desa: keselarasan, keseimbangan, dan ketenangan. Wellness sejati bukan datang dari kemasan modern semata, tapi dari nilai yang mengakar. Ajang Bali Wellness and Beauty Expo harus dibaca sebagai awal babak baru. Tidak cukup hanya menjadi pelengkap industri pariwisata. Wellness harus menjadi orientasi utama. Sebuah arah baru untuk menjadikan pariwisata Bali lebih berdaya tahan, lebih manusiawi, dan lebih menyembuhkan. Bukan hanya bagi wisatawan, tapi juga bagi Bali itu sendiri. Karena pada akhirnya, dunia tak lagi mencari tempat hiburan. Dunia sedang mencari tempat untuk pulih. Dan Bali, seperti yang sering terjadi dalam sejarahnya, selalu tahu bagaimana menyambut yang datang untuk mencari ketenangan. (*)
Baca juga :
• Menelisik Bali Lewat Sorot
• Hak Gizi, Bukan Kompromi
• Jambret Ancam Pariwisata Bali