Podiumnews.com / Kolom / Opini

Mencintai, Bukan Menguasai

Oleh Podiumnews • 05 Agustus 2025 • 20:40:00 WITA

Mencintai, Bukan Menguasai
Angga Wijaya. (dok/pribadi)

LAKI-LAKI mesti punya prinsip,” kata ibu angkat saya suatu pagi, bertahun-tahun lalu. Kala itu saya belum mengerti benar apa maksudnya. Kami sedang duduk di teras rumah, menikmati sisa embun di udara Negara, kota kecil yang menjadi bagian dari masa kecil saya. Ia melanjutkan, “Sebab nanti kalau kamu menikah, kamu jadi kepala keluarga.” Sebuah pernyataan sederhana, tapi perlahan terasa makin berat maknanya seiring usia bertambah.

Kini, kata-kata itu saya ingat kembali, bersamaan dengan percakapan-percakapan seputar relasi, pernikahan, dan keinginan manusia untuk “menyatukan visi” dalam sebuah hubungan. Kata “menyatukan” sering kali terdengar manis, romantis, penuh harapan. Tapi tahukah kita, di balik kata itu bisa tersembunyi ego yang tersamar?

Dalam setiap relasi, entah itu asmara, pertemanan, keluarga, atau bahkan pekerjaan, selalu ada yang disebut wilayah personal—daerah yang mestinya sakral dan dihormati. Prinsip hidup, cara berpikir, selera musik, hingga kepercayaan atau iman. Kita bisa mencintai seseorang, namun apakah cinta itu selalu berarti harus menjadikan dia seperti yang kita mau?

Di sinilah kerap muncul konflik, apalagi dalam hubungan beda agama. Masing-masing pihak ingin yang lain "mengikuti" jalan hidupnya, dengan dalih kesamaan visi, ketenangan batin, atau masa depan anak-anak kelak. Tapi mari kita jujur, tidakkah itu bentuk halus dari keinginan untuk menguasai?

Cinta, jika telah bersayap dominasi, akan perlahan-lahan berubah wujud. Ia tidak lagi menjadi taman bermain, melainkan medan pertempuran. Di sana tidak ada lagi canda-tawa tulus, yang ada hanya negosiasi panjang soal siapa yang harus mengalah dan siapa yang berkuasa. Kita ingin pasangan kita seperti kita, berpikir seperti kita, berjalan sesuai irama kita. Jika tidak, kita merasa ditinggalkan, tak dicintai. Padahal, belum tentu. Bisa jadi kita hanya sedang mengalami ego yang terluka.

Osho, seorang mistikus kontemporer dari India, pernah mengatakan bahwa cinta dan kebebasan adalah dua sayap bagi para pencinta. Cinta yang sejati justru memberi ruang agar yang kita cintai bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa paksaan, tanpa ancaman, tanpa manipulasi emosi. Mencintai, dalam makna terdalamnya, adalah membebaskan. Tapi membebaskan bukan berarti membiarkan, apalagi melepaskan tanggung jawab. Membebaskan artinya mempercayai bahwa ia punya jalan dan caranya sendiri untuk berkembang sebagai manusia.

Kita sering salah sangka bahwa hubungan itu harus “satu suara”. Padahal, relasi sejati justru lahir dari keberanian untuk berbeda namun tetap berjalan bersama. Bukankah keindahan taman justru karena bunga-bunganya tidak seragam? Jika semua mawar, lalu siapa yang akan menjadi melati, anggrek, atau kamboja?

Cinta yang sehat bukanlah relasi kuasa. Tapi nyatanya, dalam praktik sehari-hari, dominasi sangat mudah menyusup. Tak hanya dalam hubungan asmara, tapi juga di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan spiritual. Ada atasan yang merasa harus tahu segalanya tentang anak buah, termasuk cara hidup mereka di luar kantor. Ada murid yang ingin gurunya menyesuaikan diri dengan “zaman” atau selera sosial media.

Saya pernah membaca di salah satu buku mendiang Anand Krishna—penulis spiritual yang produktif sejak 1990-an—bagaimana murid kini tak lagi belajar dengan penuh hormat, melainkan menuntut agar gurunya tampil modern, sesuai keinginan mereka. Ini kebalikannya dari relasi spiritual zaman dahulu, ketika murid datang untuk belajar, bukan untuk mengatur.

Dominasi itu seperti hantu. Ia bisa menyelinap lewat pintu manapun. Kadang tak terasa, kadang tampak seperti perhatian. Tapi ketika kita merasa pasangan atau orang lain tak boleh punya cara sendiri, di situlah tanda bahaya mulai menyala.

Saya percaya, dorongan untuk menguasai adalah sisa-sisa dari evolusi kita sebagai manusia. Kita mungkin sudah berbadan manusia, berpakaian rapi, pandai bicara di forum-forum, tapi di dalam jiwa kita, masih tersimpan naluri purba, yakni ingin mengatur, ingin menang, ingin merasa lebih unggul. Tak beda dengan kucing atau anjing yang bersaing memperebutkan wilayah kekuasaan.

Namun kita bukan binatang. Kita diberi anugerah untuk memahami dan memilih. Maka mestinya kita bisa membedakan antara mencintai dan menguasai. Dua hal yang sepintas mirip, tapi hakikatnya sangat berbeda. Cinta tak memaksa. Cinta tak mengekang. Cinta tidak menghukum jika yang dicintai memilih jalan berbeda. Jika kita mencintai seseorang, kita mesti siap melihatnya tumbuh menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi bayangan kita.

Saya menulis ini bukan karena saya suci dari keinginan mengatur. Saya pun pernah tergoda, bahkan sering. Tapi pengalaman demi pengalaman mengajarkan bahwa mencintai adalah seni melepaskan ego, bukan sekadar mengekspresikan rasa. Dan prinsip, seperti kata ibu angkat saya dulu, bukan berarti kaku, melainkan teguh pada nilai yang tidak menyakiti.

Saya menulis ini juga untuk diri saya sendiri, agar tak lupa bahwa cinta yang paling tinggi adalah cinta yang tidak menuntut balasan. Cinta yang seperti matahari, bersinar tanpa pilih kasih, tak peduli siapa yang memuji atau mencaci.

Jika ada satu prinsip yang ingin saya genggam seumur hidup, itu adalah mencintai, bukan menguasai.

Denpasar, Agustus 2025

(Angga Wijaya, penulis dan jurnalis di Denpasar-Bali)