Podiumnews.com / Kolom / Opini

Permainan Atensi

Oleh Podiumnews • 07 September 2025 • 14:37:00 WITA

Permainan Atensi
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

GELOMBANG informasi digital telah mengubah cara masyarakat melihat dunia. Jika pada abad lalu kepemilikan tanah, modal, atau tenaga kerja dianggap sebagai penentu utama kekuasaan, kini perebutan berlangsung pada sesuatu yang jauh lebih halus: perhatian. Detik-detik tatapan di layar gawai, sebaris komentar, hingga tanda “suka” di media sosial menjelma sebagai sumber daya yang amat berharga. Dalam situasi ini, dunia komunikasi publik beroperasi layaknya sebuah permainan besar, dengan aturan yang ditentukan algoritma dan strategi yang dijalankan oleh para aktor. Teori permainan, atau game theory, menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana strategi itu dijalankan.

Ekonomi Perhatian dan Arena Digital

Herbert A. Simon pada 1971 menyatakan bahwa kelimpahan informasi menciptakan kemiskinan perhatian. Pandangan ini terasa visioner ketika disandingkan dengan kenyataan hari ini. Media sosial memproduksi informasi dalam jumlah tak terhingga setiap detik. Namun, manusia hanya memiliki waktu terbatas untuk mencerna. Atensi pun menjadi modal baru: siapa yang berhasil mendapatkannya, dialah yang dapat mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi, politik, atau sosial.

Contoh paling jelas terlihat pada industri influencer. Nama-nama besar seperti Atta Halilintar atau Ria Ricis bukan hanya dikenal karena karya, melainkan karena kepiawaian mereka menarik atensi secara konsisten. Setiap unggahan video, vlog keluarga, atau konten hiburan sudah dirancang untuk memikat mata jutaan pengikut. Atensi itu kemudian dikonversi menjadi iklan, promosi, dan bahkan legitimasi sosial. Fenomena serupa juga berlangsung pada tingkat global: selebritas seperti Kim Kardashian atau Cristiano Ronaldo tidak sekadar menjual karya, tetapi juga menjual daya tarik personal yang terus-menerus menarik perhatian dunia.

Tidak berhenti di ranah hiburan, permainan atensi merambah dunia politik. Politisi di berbagai negara menyadari bahwa popularitas di media sosial bisa menentukan kemenangan elektoral. Donald Trump di Amerika Serikat adalah contoh paling ekstrem: cuitan kontroversialnya di Twitter menjadi strategi untuk terus menguasai siklus berita. Di Indonesia, gaya komunikasi figur politik di platform digital menunjukkan pola serupa. Unggahan sederhana, kadang berupa potongan video atau komentar singkat, dirancang untuk memancing respons luas. Perhatian publik menjadi modal untuk membangun citra dan legitimasi politik.

Strategi, Dilema, dan Konsekuensi

Dalam kacamata game theory, perebutan perhatian ini bisa dibaca sebagai permainan multi-aktor dengan strategi yang saling terkait. Salah satu pola yang menonjol adalah dilema tahanan. Para kreator konten tahu bahwa mengandalkan sensasi dan kontroversi bisa merusak kredibilitas jangka panjang, namun rasa takut kehilangan audiens membuat mereka tetap memilih strategi itu. Jika satu pihak memancing atensi dengan drama personal, pihak lain merasa harus melakukan hal serupa agar tidak tenggelam. Akhirnya, drama menjadi mata uang baru dalam ekosistem digital.

Algoritma media sosial memperkuat situasi ini. Platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok bekerja dengan logika keterlibatan. Konten yang memicu reaksi cepat akan lebih mudah didorong ke permukaan. Akibatnya, strategi jangka panjang berupa konsistensi kualitas sering kalah pamor dibanding konten instan yang penuh kontroversi. Dalam kerangka teori permainan, tercipta keseimbangan Nash: semua pemain terpaksa mengikuti pola yang sama, karena keluar dari pola justru berisiko kehilangan peluang.

Fenomena terbaru di Indonesia memperlihatkan wajah nyata permainan atensi. Timothy Ronald dengan gaya storytelling finansialnya, Ferry Irwandi dengan pendekatan humor sarkastik, serta Bigmo yang piawai memainkan persona, adalah contoh bagaimana atensi diolah menjadi modal sosial dan ekonomi. Mereka memahami bahwa audiens digital tidak sekadar mencari informasi, tetapi juga hiburan, sensasi, bahkan kedekatan emosional. Setiap kalimat, intonasi, hingga gestur dirancang sebagai bagian dari strategi merebut perhatian.

Selain itu, muncul pula tren clipper atau pemotongan video pendek yang dibagikan ulang di TikTok dan Instagram Reels. Potongan itu biasanya diawali dengan hook sensasional, kalimat pembuka yang menggelitik atau memancing emosi. Meskipun hanya berdurasi satu menit, potongan video ini mampu menciptakan lonjakan atensi jauh lebih besar daripada konten panjang. Strategi ini memperlihatkan bagaimana logika permainan berubah: bukan lagi siapa yang memiliki gagasan paling dalam, melainkan siapa yang paling piawai merangkai potongan paling mengundang rasa ingin tahu.

Studi kasus juga bisa dilihat pada fenomena “prank” di YouTube beberapa tahun lalu. Sejumlah kanal populer berlomba membuat konten yang semakin ekstrem demi meraih atensi. Ada yang berpura-pura membagikan uang, ada pula yang menampilkan konflik rekayasa. Konten semacam itu memicu banjir klik, namun pada saat bersamaan menimbulkan kritik tajam. Sebagian kreator kemudian menghadapi reaksi balik berupa kehilangan kepercayaan publik. Fenomena ini menunjukkan bagaimana permainan atensi bisa membawa keuntungan sesaat sekaligus risiko jangka panjang.

Contoh lain datang dari ranah politik lokal. Pada masa kampanye, banyak kandidat lebih fokus pada gimmick media sosial ketimbang menyampaikan program substantif. Gaya komunikasi yang menekankan kehebohan visual, mulai dari joget massal hingga konten viral, menjadi strategi untuk meraih perhatian. Namun begitu pemilu usai, publik menyadari bahwa atensi yang diberikan tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan. Demokrasi akhirnya terancam menjadi sekadar lomba siapa paling viral, bukan siapa paling mampu mengelola negara.

Konsekuensi dari permainan ini tidak hanya menimpa para pemain, tetapi juga publik luas. Audiens terjebak dalam kelelahan informasi. Mereka dipaksa bereaksi cepat tanpa sempat mencerna, terus dibombardir drama, sensasi, dan berita palsu. Ruang publik digital yang mestinya menjadi forum deliberasi bergeser menjadi pasar riuh penuh teriakan. Bagi sebagian orang, kondisi ini melahirkan apatisme: memilih menjauh dari diskursus publik karena merasa tidak lagi menemukan kualitas.

Etika Baru dalam Mengelola Atensi

Fenomena permainan atensi menuntut lahirnya etika baru dalam komunikasi publik. Kreator konten tidak bisa hanya mengandalkan logika instan. Kredibilitas jangka panjang jauh lebih bernilai ketimbang viralitas sesaat. Kualitas narasi, kejujuran, dan konsistensi akan menjadi investasi yang menjaga keberlanjutan kepercayaan publik. Dalam kerangka game theory, strategi ini mirip dengan permainan berulang: kemenangan bukan ditentukan oleh satu putaran, melainkan oleh akumulasi kepercayaan dari waktu ke waktu.

Perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab besar. Algoritma yang semata-mata mengejar interaksi perlu direvisi agar memberi tempat pada konten bermutu. Di banyak negara, sudah mulai ada dorongan regulasi untuk memastikan platform tidak sekadar memproduksi keterlibatan, tetapi juga menjaga kesehatan wacana publik. Jika tidak, platform hanya akan memperkuat permainan yang salah arah, di mana sensasi lebih berharga daripada kebenaran.

Publik sebagai konsumen informasi pun memegang peranan penting. Atensi adalah bentuk legitimasi. Apa yang diperhatikan, itulah yang diberi ruang untuk tumbuh. Ketika publik lebih banyak memberi perhatian pada konten dangkal, maka konten dangkallah yang akan berkuasa. Namun bila perhatian diberikan pada gagasan, nilai, dan integritas, maka kualitas ruang publik digital dapat ditingkatkan. Literasi media menjadi bekal utama agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam manipulasi atensi. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media di Bali)