Ketabahan yang Sering Terlupakan
BANJIR selalu datang dengan dua wajah. Satu wajah adalah duka: rumah terendam, perabot rusak, jalan terputus, dan sesekali kabar tentang korban yang hilang. Wajah lainnya adalah ketabahan: orang-orang yang tetap bertahan, saling menolong, dan mencari cara untuk terus hidup.
Di tengah genangan, kita bisa melihat bagaimana air masuk ke rumah-rumah, meninggalkan lumpur dan rasa cemas. Namun lebih dari itu, kita melihat wajah-wajah manusia yang tidak menyerah. Ada seorang ibu yang menggendong anaknya sambil tetap tersenyum ketika relawan datang membawa makanan. Ada seorang bapak yang menolak mengungsi karena ingin menjaga hewan ternak dan barang-barang yang tersisa. Ada tetangga yang datang membantu, tanpa banyak bicara, hanya dengan tenaga seadanya. Semua itu menghadirkan pelajaran sederhana: bencana tidak hanya soal kehilangan, tetapi juga tentang daya tahan yang sering kita lupakan.
Ketabahan bukan sekadar kemampuan bertahan hidup, melainkan sikap batin yang muncul ketika pilihan sudah habis. “Manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan. Manusia bisa dihancurkan tetapi tidak bisa dikalahkan,” tulis Ernest Hemingway dalam The Old Man and The Sea. Kalimat itu menemukan relevansinya ketika kita melihat warga yang tetap tegar meski genangan menutup ruang hidup mereka. Ada sesuatu yang tak bisa dihitung dalam angka kerugian, tetapi bisa dirasakan dalam sikap menerima dengan lapang dada.
Dalam setiap bencana, pemerintah hadir dengan langkah darurat: posko, bantuan makanan, pencarian korban, janji perbaikan infrastruktur. Semua itu penting dan memang seharusnya dilakukan. Namun di luar struktur formal itu, ada sesuatu yang sering luput dari perhatian: ketabahan masyarakat biasa. Mereka yang dengan sabar membersihkan lumpur, yang tetap menjaga anak-anak agar tidak takut, yang rela berbagi nasi bungkus meski sendiri masih lapar. Ketabahan itu tidak masuk dalam laporan resmi, tetapi menjadi energi yang membuat kehidupan berjalan lagi.
Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Apa yang tidak membunuhku, membuatku semakin kuat.” Kalimat itu sering dipakai secara berlebihan dalam konteks yang salah, tetapi pada saat bencana ia menemukan artinya. Warga yang setiap tahun menghadapi banjir tahu persis makna kata itu. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali menjadi kuat. Dalam kuatnya mereka, ada ironi: mengapa negara yang mestinya melindungi justru lambat mengantisipasi?
Kita tahu bahwa air tidak pernah menunggu agenda tahunan. Ia mengikuti logikanya sendiri. Ketika ruang alirannya dipersempit, ketika resapan tanah ditutup, ia mencari jalan lain. Dan jalan itu sering kali adalah rumah-rumah manusia. Bencana alam selalu menyimpan pesan, bahwa ada yang keliru dalam cara kita memperlakukan ruang. Mengabaikan jalur air sama dengan mengabaikan hidup.
Di tengah semua ini, saya teringat kata-kata Marcus Aurelius, filsuf Stoa yang menulis dalam Meditations: “Kehidupan seorang manusia adalah apa yang dipikirkan oleh pikirannya.” Ketika banjir merendam rumah, orang bisa memilih untuk mengutuk keadaan, bisa juga memilih untuk menerima dan mencari cara bertahan. Masyarakat kita, dalam ketabahan yang sunyi, sering menunjukkan wajah pilihan yang kedua. Mereka tidak larut dalam amarah, melainkan sibuk menjaga keluarga, membantu tetangga, dan mempercayai bahwa air akhirnya akan surut.
Ketabahan ini sering tidak masuk hitungan. Ia tidak pernah diumumkan di panggung penghargaan, tidak ditulis dalam laporan kinerja, tidak menjadi headline besar. Padahal, tanpa ketabahan, sebuah masyarakat akan mudah runtuh oleh bencana. Infrastruktur bisa rusak, ekonomi bisa berhenti, tetapi ketabahan membuat orang tetap percaya ada hari esok. Itulah kekuatan yang sesungguhnya menopang negeri ini.
Banjir akan surut, lumpur akan dibersihkan, dan hidup akan berjalan lagi. Tetapi pertanyaan yang harus kita simpan adalah: apakah kita akan belajar dari setiap peristiwa, ataukah hanya menunggu bencana berikutnya? Ketabahan masyarakat memang luar biasa, tetapi jangan sampai itu dijadikan alasan untuk membiarkan kesalahan tata ruang terus berulang.
Seorang pemikir India, Rabindranath Tagore, pernah berkata, “Kesedihan adalah dinding yang tebal antara dua kebahagiaan.” Ketabahan warga yang kita lihat dalam bencana adalah upaya menembus dinding itu. Mereka percaya bahwa di balik genangan masih ada harapan, bahwa setiap surut akan menghadirkan kebahagiaan baru. Tetapi tugas pemerintah dan kita semua adalah memastikan dinding itu tidak semakin tinggi dan tebal.
Pada akhirnya, ketabahan masyarakat dalam menghadapi banjir adalah modal sosial yang tak ternilai. Namun ketabahan saja tidak cukup. Ia harus disertai kebijakan yang berpihak pada lingkungan, tata ruang yang adil, dan janji-janji yang ditepati. Karena sekuat apa pun masyarakat, mereka tidak boleh dibiarkan sendirian.
Ketabahan memang sering terlupakan. Kita sibuk menghitung kerugian, sibuk menyusun program, sibuk menyalurkan bantuan. Tetapi sesungguhnya, yang paling membuat negeri ini terus berdiri adalah orang-orang yang dalam diamnya mampu bertahan. Mereka tidak menuntut tepuk tangan, tidak berharap sorotan kamera, hanya ingin hidup yang layak di ruang yang seharusnya aman. Dan mungkin, dari wajah-wajah tabah itulah kita bisa belajar lagi tentang apa arti menjadi manusia. (*)
Menot Sukadana