HUJAN deras yang mengguyur sebagian wilayah Badung pada Rabu, 10 September 2025, menyisakan jejak pilu. Air yang mestinya mengalir tenang ke sungai, meluap dan merendam rumah-rumah warga di beberapa titik. Salah satu yang terdampak cukup parah adalah Lingkungan Gadon, Mengwitani. Aliran sungai yang menyempit tidak lagi mampu menampung derasnya curah hujan, hingga air meluber dan menenggelamkan permukiman. Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa yang turun langsung ke lapangan menyampaikan hal penting: kita harus berani mengevaluasi tata ruang di daerah ini. Pernyataannya sederhana, namun sesungguhnya menyentuh akar persoalan. Banjir bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah akibat dari campur tangan manusia yang sering kali abai pada keseimbangan ruang. Selama ini, pembangunan di Bali, khususnya di Badung, kerap berorientasi pada kepentingan komersial. Hotel, vila, restoran, pusat belanja, dan kawasan wisata tumbuh pesat di atas lahan-lahan yang sebelumnya menjadi ruang resapan atau jalur aliran air. Sungai dipersempit, saluran dialihfungsikan, ruang terbuka hijau dikalahkan beton. Pada titik tertentu, air kehilangan jalurnya untuk kembali ke tanah. Dan ketika hujan deras tiba, air mengambil jalannya sendiri, menerobos pemukiman, menghanyutkan barang, bahkan mengancam nyawa. Editorial ini perlu menegaskan bahwa persoalan banjir bukan semata urusan teknis drainase atau normalisasi sungai. Ia adalah soal filosofi tata ruang. Bagaimana sebuah daerah memilih untuk menata ruang hidupnya, menentukan apakah air dipandang sebagai kawan atau lawan. Selama air dianggap bisa ditaklukkan dengan betonisasi semata, selama itu pula ancaman banjir akan terus menghantui. Langkah Bupati untuk menginstruksikan evaluasi pemanfaatan ruang patut diapresiasi. Ia mengingatkan bahwa jalur air tidak boleh ditutup, dipersempit, atau dikompromikan hanya demi kepentingan investasi. Pernyataan ini harus dijadikan alarm bagi seluruh perangkat daerah, mulai dari kecamatan, desa, hingga OPD teknis. Evaluasi tata ruang tidak boleh berhenti di rapat koordinasi, melainkan ditindaklanjuti dengan penegakan aturan yang jelas. Selain evaluasi, langkah darurat yang diambil Pemkab Badung juga penting. Penyediaan posko, perhatian bagi warga terdampak, dan pencarian korban hilang bersama Basarnas menunjukkan bahwa pemerintah hadir saat masyarakat menghadapi kesulitan. Kehadiran Kepala BNPB di Bali menandakan bahwa persoalan banjir di Badung juga menjadi perhatian pusat. Namun, semua langkah darurat itu sejatinya hanya menambal luka sesaat. Tanpa perubahan paradigma tata ruang, luka serupa akan kembali terbuka di musim hujan berikutnya. Kita juga mencatat sorotan Bupati pada penyempitan aliran sungai di kawasan Central Parkir, Jalan Dewi Sri, Kuta. Laporan PUPR menyebutkan pelebaran baru dijadwalkan 2026. Namun, penundaan berarti mengabaikan fakta bahwa musim hujan sudah di depan mata. Usulan percepatan dengan anggaran darurat adalah langkah tepat. Pemerintah daerah harus berani memprioritaskan keselamatan warga di atas daftar rencana teknokratis. Air tidak menunggu agenda tahunan, ia mengikuti logikanya sendiri. Editorial ini mengajak publik untuk memandang banjir tidak lagi sebagai peristiwa rutin yang datang dan pergi. Kita harus melihatnya sebagai peringatan keras bahwa ada yang keliru dalam cara kita memperlakukan ruang. Mengabaikan jalur air sama dengan mengabaikan hidup. Sungai bukanlah ruang kosong yang bisa ditutup demi kepentingan sesaat. Ia adalah urat nadi yang membawa keseimbangan bagi ekosistem. Ke depan, Badung memerlukan kebijakan tata ruang yang lebih berani. Setiap izin pembangunan harus benar-benar mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Ruang terbuka hijau tidak boleh dikorbankan hanya demi menambah koefisien investasi. Masyarakat pun harus dilibatkan dalam mengawasi pemanfaatan ruang di lingkungannya. Tanpa partisipasi publik, aturan tinggal aturan; pelanggaran akan terus mencari celah. Air, sekali lagi, tidak pernah salah. Ia hanya mencari jalannya. Yang sering salah adalah manusia yang serakah menutup jalur itu. Editorial ini mendukung penuh langkah evaluasi tata ruang di Badung, namun juga menuntut konsistensi dalam implementasi. Jangan sampai banjir menjadi agenda tahunan yang hanya ditangani dengan karung pasir dan pompa penyedot. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk berkata: cukup sudah. Tata ruang yang berpihak pada lingkungan bukan pilihan, melainkan keharusan. Badung dengan segala potensi pariwisata dan ekonominya harus menjadi teladan dalam menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian. Jika tidak, kita hanya akan terus mengulang peristiwa di Gadon, Mengwitani, dan tempat-tempat lain, air meluap, rumah terendam, warga menderita, pemerintah sibuk merespons, lalu lupa, hingga bencana berikutnya datang. Momen ini semestinya menjadi titik balik. Kita tidak boleh sekadar mengobati, tetapi harus mencegah. Tata ruang yang berpihak pada air, itulah satu-satunya jalan. (*)
Baca juga :
• Banjir dan Cermin Kota
• Berebut Kue Wellness
• Banjar untuk Masa Depan