Terlalu Banyak Kendaraan Pribadi di Bali
SETIAP kali melewati jalan utama di Denpasar dan Badung, tubuh saya ikut menegang. Motor saling menyerobot, mobil berebut jalur, klakson bersahutan. Ruang yang seharusnya menjadi jalan raya berubah menjadi lorong panjang yang menguras waktu dan kesabaran. Bali yang dipromosikan dunia sebagai pulau damai, dalam keseharian warganya justru lebih sering terasa sebagai pulau macet.
Kemacetan di Bali memang bukan sekadar kesan. Angka-angka resmi menunjukkan kenyataan yang sulit dibantah. Pada 1996, jumlah kendaraan bermotor di Bali baru sekitar 542.610 unit. Dua puluh tiga tahun kemudian, tepatnya 2019, jumlah itu melonjak menjadi 4.352.596 unit. Tahun 2020, kendaraan bermotor tercatat sekitar 4,4 juta unit, lalu meningkat lagi menjadi 4,7 juta unit pada 2022. Dan pada 2023, jumlahnya menembus 5 juta unit. BPS Provinsi Bali bahkan mencatat pada 2024, jumlah kendaraan terdiri dari 544.640 mobil penumpang, 188.199 mobil barang, 15.981 bus, dan 4.528.734 sepeda motor. Totalnya lebih dari 5,2 juta unit.
Bandingkan dengan jumlah penduduk Bali yang pada 2022 sekitar 4,3 juta jiwa. Artinya, kendaraan bermotor di Bali sudah lebih banyak daripada manusia yang tinggal di dalamnya. Data dari Polda Bali mempertegas situasi ini. Setiap tahun rata-rata ada tambahan sekitar 200 ribu unit kendaraan baru. Dengan tren seperti itu, pada 2030 Bali bisa saja menjadi pulau dengan jumlah kendaraan jauh melampaui jumlah penduduk.
Saya masih ingat suasana jalan raya Denpasar masa lalu. Anak-anak bisa bersepeda ke sekolah tanpa rasa takut. Kini, bayangan itu seperti cerita lama yang mustahil diulang. Jalan terlalu padat, risiko terlalu tinggi. Motor telah menjelma kebutuhan primer, setara dengan beras atau listrik. Bahkan dalam satu keluarga kecil, jumlah motor bisa mencapai tiga sampai empat unit. Mobil pun tak kalah menggoda, bukan hanya sebagai alat transportasi, melainkan juga simbol prestise. Membeli mobil baru dianggap pencapaian penting, meskipun jalan di depan rumah semakin macet.
Fenomena ini menimbulkan benturan besar. Di satu sisi, masyarakat semakin dimudahkan dalam mobilitas. Di sisi lain, ruang jalan tidak bertambah banyak. Luas jalan di Bali relatif stagnan. Pelebaran memang dilakukan di beberapa titik, namun lahan terbatas, ditambah dengan keberadaan sawah, pura, dan kawasan konservasi yang tidak mungkin digusur. Alhasil, ruang sempit yang tersedia harus diperebutkan oleh jutaan kendaraan.
Bali akhirnya menjadi pulau kendaraan. Jalan By Pass Ngurah Rai, Gatot Subroto, jalur menuju Sanur dan Ubud, hampir setiap hari macet parah. Dulu, macet identik dengan musim liburan. Sekarang, di hari kerja biasa pun perjalanan singkat bisa berubah menjadi derita panjang. Warga yang hendak ke kantor, siswa menuju sekolah, hingga petani yang membawa hasil panen, semua kehilangan waktu berjam-jam di jalan.
Pemerintah sesungguhnya tidak tinggal diam. Program Bus Trans Sarbagita pernah diluncurkan pada 2011 dengan harapan besar. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, layanan itu meredup. Armada terbatas, trayek dipangkas, penumpang jarang, dan manajemen berantakan. Angkot pun mati suri, kalah bersaing dengan ojek daring dan motor cicilan yang murah.
Kini pemerintah menghadirkan Bus Trans Metro Dewata dengan konsep yang lebih segar. Armada bus ber-AC, halte modern, tarif terjangkau, bahkan gratis untuk pelajar. Dari segi konsep, ini langkah maju. Tetapi persoalan mendasar belum terpecahkan: kebiasaan warga yang enggan meninggalkan kendaraan pribadi. Saya beberapa kali melihat bus itu lewat, kursinya lebih banyak kosong daripada terisi. Halte berdiri rapi, tapi jarang dipenuhi penumpang.
Masalah transportasi publik di Bali memang bukan sekadar teknis, melainkan juga budaya. Masyarakat sudah terlanjur nyaman dengan motor dan mobil pribadi. Naik bus dianggap merepotkan, karena rutenya terbatas dan waktunya tidak bisa diprediksi setepat motor pribadi. Motor bisa langsung mengantar dari rumah ke tujuan, tanpa harus berpindah angkutan atau menunggu. Kenyamanan semacam ini sulit ditandingi, kecuali transportasi publik benar-benar serius dibangun dan diintegrasikan.
Ledakan kendaraan pribadi tidak hanya berdampak pada kemacetan. Polusi udara meningkat, kualitas lingkungan menurun, dan tingkat stres masyarakat bertambah. Bali yang dijual sebagai destinasi wisata ramah lingkungan justru perlahan dicekik oleh asap knalpot. Turis yang datang mencari ketenangan sering kali harus pulang dengan cerita tentang macet dan perjalanan yang melelahkan.
Kerugian ekonomi pun tak sedikit. Setiap kendaraan pribadi membutuhkan biaya BBM, pajak, perawatan, hingga cicilan. Itu belum termasuk kerugian akibat waktu yang hilang di jalan, keterlambatan, hingga kecelakaan. Jika diakumulasikan, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Bali bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Sayangnya, angka ini tersebar di kantong-kantong individu sehingga jarang terlihat dalam laporan resmi.
Pertanyaannya, bagaimana jalan keluar dari situasi ini? Jawaban jangka panjang tentu saja memperkuat transportasi publik. Bus Trans Metro Dewata harus diperluas jaringannya, ditambah armadanya, dan dipastikan tepat waktu. Jika masyarakat merasa lebih mudah, mereka mungkin mulai meninggalkan kendaraan pribadi. Di sisi lain, pemerintah harus berani mengambil kebijakan tegas. Misalnya, pembatasan usia kendaraan, tarif parkir tinggi di kawasan padat, atau sistem ganjil-genap. Kebijakan semacam ini tidak populer, tetapi tanpa langkah berani, Bali akan semakin terjebak dalam lingkaran macet.
Namun, kebijakan saja tidak cukup. Masyarakat Bali perlu mengubah cara pandang. Menggunakan transportasi umum bukan berarti menurunkan gengsi, melainkan bagian dari upaya menjaga pulau ini tetap layak huni. Kita harus berani bertanya pada diri sendiri, apakah benar setiap anggota keluarga butuh satu motor, bahkan dua atau tiga? Apakah mobil baru memang kebutuhan, atau sekadar gengsi? Pertanyaan semacam ini penting untuk menahan laju pertumbuhan kendaraan.
Bali adalah pulau kecil. Kapasitasnya terbatas. Jika kita terus bergantung pada kendaraan pribadi, suatu hari nanti pulau ini akan lebih dikenal sebagai pulau kendaraan ketimbang pulau surga. Pilihan itu kini ada di depan mata: terus menikmati kenyamanan sesaat dengan kendaraan pribadi, atau berkorban sedikit demi masa depan Bali yang lebih tertib, sehat, dan berkelanjutan. (*)
Oleh: Angga Wijaya (Jurnalis tinggal di Denpasar, Bali)