Podiumnews.com / Kolom / Opini

Masihkah Orang Bali? – Renungan Hari Tumpek Landep

Oleh Nyoman Sukadana • 20 September 2025 • 16:05:00 WITA

Masihkah Orang Bali? – Renungan Hari Tumpek Landep
Angga Wijaya. (dok/pribadi)

PADA beberapa percakapan dengan banyak sahabat sesama orang Bali, ada kalimat yang begitu membekas di hati dan ingatan saya; “Nak rage Bali, percaye teken Karma Phala”. Terjemahan bebasnya: “(Karena/bahwa) kita orang Bali (yang) percaya dan yakin akan adanya hukum karma”. Kalimat itu bukanlah sebuah glorifikasi kesukuan, apalagi chauvinisme budaya, melainkan sebagai pengingat bahwa orang Bali, yang sejak lahir hingga meninggal tak lepas dari upacara, mempunyai nilai-nilai yang terus terbawa dan dibawa, kemana pun atau dimana pun mereka berada.

Idealnya begitu. Namun, kini, tidak semua orang Bali beragama Hindu. Meski mungkin nama mereka tetap mempertahankan nama khas Bali seperti Putu/Wayan, Made/Kadek, Komang/Nyoman, dan Ketut, agama mereka Islam, Kristen, Buddha, atau juga Khonghucu. Terlebih bagi Perempuan Bali (Hindu), yang menikah dengan laki-laki non-Hindu dan non-Bali, dengan alasan “semua agama itu sama”, atau “demi keutuhan rumah tangga”, juga “demi kebahagiaan keluarga besar” dengan mudah memutuskan pindah agama, keluar dari agama asal.

Konversi agama, meskipun tidak semuanya bermakna negatif, pada akhirnya menjadi tantangan bagi orang Bali, terutama oleh keluarga yang memegang teguh agama dan juga tradisi Bali dan juga Hindu. Dengan adanya perubahan pola pergaulan masyarakat, penduduk yang majemuk terutama di kota, berpengaruh juga pada budaya Bali yang mengalami distraksi. Pacaran beda agama, bagi generasi muda Bali, tidak lagi dipandang sebagai hal yang tabu. Kendala akan muncul biasanya, ketika mereka akan menikah.

Di Indonesia, sejak adanya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang merupakan revisi dari undang-undang perkawinan pada masa Orde Lama, sebuah pernikahan dikatakan sah apabila kedua mempelai agamanya sama. Artinya, jika dahulu pada zaman kakek dan orang tua kita, negara tidak terlalu campur tangan pada “agama”. Pada masa setelah Orde Lama runtuh, bahkan untuk menikah saja persoalan agama (dan iman) yang merupakan hal privat atau personal warga negara, kemudian ikut diurusi oleh negara. Sejak itu pula, pasangan beda agama tentu tak bisa menikah secara resmi di Indonesia. Solusinya, salah satu pasangan (istri atau suami) berpindah agama mengikuti agama pasangannya. Atau, bagi kaum berpunya, menikah di luar negeri seperti di Singapura atau Australia demi mendapatkan surat-surat resmi pernikahan.

Pola seperti ini bukan saja menunjukkan bahwa agama merupakan “sesuatu” yang dianggap penting di Indonesia, tapi juga, jangan lupa, agama juga menjadi alat politik oleh kalangan tertentu. Agama statistik, mungkin pembaca pernah membaca atau mendengarnya. Siapa yang berpindah agama, siapa yang meninggalkan agama asal, juga berhubungan dengan angka, statistik. Meski tidak secara eksplisit, fakta ini bisa menjadi “api dalam sekam” jika kita semua tidak membicarakannya secara terbuka dengan kepala dingin dan dialog yang sehat.

Di Bali, ini yang luar biasa, jika ada saudara atau kerabat yang dengan alasan-alasan tertentu memilih pindah agama, mereka tetap diterima dengan tangan terbuka. Keluarga, akan tetap menanggap saudara yang telah menjadi penganut agama “lain”, sebagai orang Bali. Tak mudah, tentunya, jika dibandingkan dengan tempat lain di Indonesia, menerima dengan tangan terbuka anggota keluarga atau kerabat yang telah “murtad” tetap sebagai bagian dari komunitas kita. Di situlah menunjukkan, bahwa Pulau Dewata telah melalui proses panjang akan “keterbukaan”. Mereka yang berpindah agama, biasanya, dianggap hanya “agama” saja yang kini berbeda. Lebih dari itu, mereka tetaplah kakak, adik, keponakan atau bahkan anak dan cucu kita—orang Bali.

Kalimat “Nak rage Bali” kemudian menjadi alat ukur, sejauh mana perubahan yang dialami orang Bali setelah misalnya, mengalami “pembauran” dengan budaya-budaya dan agama berbeda. Masihkah disebut “orang Bali”, jika kemudian seseorang tidak lagi bersikap dan berbuat sesuai nilai-nilai dan ajaran luhur di Bali? Ini tentu bukan hanya ditujukan oleh mereka yang telah berpindah keyakinan, tapi juga bagi orang Bali yang masih beragama Hindu. Sebab, pada banyak kasus, meskipun perempuan atau lelaki Bali telah berpindah keyakinan, mereka tetap dengan setia menunjunjung tinggi “value” atau nilai-nilai sebagai orang Bali. Misalnya, takut berpikir, berkata, dan berbuat jahat, menyakiti orang lain; mencuri, berbohong, dan juga melakukan korupsi.

Di sisi lain, ada juga yang melupakan nilai-nilai luhur sebagai orang Bali setelah mereka pindah agama, entah karena menikah, faktor ekonomi, asmara, dan juga karena alasan politik. Setelah pindah agama, seperti yang pernah ditulis oleh Anand Krishna dalam beberapa buku beliau, hal yang paling rawan adalah membanding-bandingkan agama “baru” dengan agama asal. Kemudian terlibat dalam debat kusir, yang hanya membuang-buang energi dan menunjukkan sikap tak baik.

“Nak Rage Bali”, akan menjadi benteng kokoh bagi segala hal yang merubah Bali. Orang Bali (Hindu) yang percaya pada Brahman (Tuhan), Atman (jiwa), Karma Phala (hukum sebab-akibat), Punarbhawa (reinkarnasi), dan Moksha (pembebasan rohani). Panca Sradha, inilah yang menjadi identitas orang Hindu-Bali. Kita bisa bilang bahwa Sradha ini merupakan pencapaian luar biasa yang lahir dari ketajaman pikiran pada resi-resi dan leluhur orang Bali pada zaman dahulu.

Hari raya di Bali, penentuan waktunya, dan filsafat serta makna yang menyertainya, bukan hanya kebetulan semata. Lebih dari itu, hari raya di Bali menjadi semacam pengingat ketika kita pulang kampung setelah lama bekerja di kota lain satu pulau, luar pulau, bahkan juga luar negeri: “Masihkah (Engkau) Orang Bali?” Setinggi apa pun pendidikanmu, sebanyak apa pun hartamu, setenar dan sebesar apa pun namamu, pertanyaan itu terus bergema; melalui suara genta pemangku Pura, diskusi hangat dengan keluarga, ataupun juga melalui hadirnya kenangan pada foto yang tergantung di tembok rumah, atau album-album foto lama di lemari kamar tua. (*)

Oleh: Angga Wijaya (Jurnalis tinggal di Bali)