Podiumnews.com / Kolom / Opini

Arsitek Media: Imajinasi, Strategi, dan Tanggung Jawab Publik

Oleh Nyoman Sukadana • 21 September 2025 • 16:29:00 WITA

Arsitek Media: Imajinasi, Strategi, dan Tanggung Jawab Publik
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

MEDIA tidak cukup hanya dikelola. Ia harus didesain, disusun, dan diarahkan. Di situlah pentingnya peran arsitek media.

Dalam sebuah workshop wartawan di Surabaya, saya pernah mendengar ungkapan seorang pengamat pers yang begitu membekas: Media hari ini tak cukup hanya dikelola. Ia harus didesain, disusun, dan diarahkan. Di situlah peran arsitek media.

Ungkapan itu seketika membuka cakrawala baru. Selama ini, kita lebih sering mendengar istilah manajer media, pemimpin redaksi, atau komisaris. Tetapi jarang sekali ada yang menyinggung peran seorang arsitek media, figur yang bukan sekadar mengatur alur kerja redaksi, melainkan merancang keseluruhan bangunan media: dari visi, positioning, strategi konten, hingga keberlanjutan bisnisnya.

Jika seorang arsitek bangunan membayangkan bagaimana sebuah gedung akan berdiri dan berfungsi, maka arsitek media membayangkan bagaimana sebuah institusi pers akan hidup, dipercaya, dan bertahan di tengah gempuran zaman. Ia melihat media bukan hanya sebagai ruang produksi berita, melainkan sebagai ekosistem yang terdiri dari redaksi, pembaca, teknologi, bisnis, hingga ruang sosial tempat media itu berakar.

Jejak Para Arsitek Media

Sejarah pers Indonesia menyimpan banyak figur yang dapat disebut sebagai arsitek media. Jakob Oetama, misalnya, bukan hanya seorang wartawan, tetapi perancang Kompas sebagai institusi pers yang memadukan jurnalisme dengan nilai kebangsaan. Ia merancang Kompas agar tidak terjebak dalam arus politik praktis semata, tetapi juga tetap kokoh sebagai media kredibel yang menjaga kepercayaan publik.

Lebih jauh ke belakang, ada Tirto Adhi Soerjo, pendiri Medan Prijaji. Tirto bukan hanya menulis berita, tetapi merancang media sebagai alat perjuangan politik dan kesadaran kebangsaan. Koran baginya adalah bangunan ideologis yang menopang lahirnya kesadaran rakyat tentang kemerdekaan. Tirto adalah arsitek media dalam arti yang paling politis, ia membayangkan pers sebagai pilar perjuangan bangsa.

Contoh lain adalah Goenawan Mohamad dengan Tempo. Ia tidak hanya mengelola majalah berita, melainkan membangun sebuah rancangan budaya intelektual. Tempo hadir dengan gaya jurnalisme investigatif yang lugas, bernas, namun tetap bernuansa sastra. Goenawan tidak berhenti pada pengelolaan redaksi. Ia merancang Tempo sebagai rumah intelektual yang memberi warna pada demokrasi Indonesia.

Nama lain yang juga patut disebut adalah Dahlan Iskan. Melalui Jawa Pos, ia membangun jaringan media yang luas dan merancang sistem distribusi yang agresif serta modern. Dahlan tidak hanya memikirkan isi berita, tetapi juga bagaimana koran bisa dicetak cepat, diedarkan luas, dan menjangkau pembaca dengan teknologi terbaru. Ia membuktikan bahwa seorang arsitek media mampu menggabungkan visi bisnis dengan semangat jurnalisme, sehingga medianya bisa tumbuh menjadi raksasa pers nasional.

Perspektif Pakar dan Akademisi

Pakar komunikasi John Pavlik dalam bukunya Journalism and New Media (2001) menegaskan bahwa kehadiran media baru menuntut perubahan cara berpikir redaksi. Media, kata Pavlik, tidak lagi sekadar ruang produksi berita, tetapi harus dirancang sebagai ekosistem yang memadukan teknologi, etika, dan partisipasi publik. Gagasan ini selaras dengan konsep arsitek media, media adalah bangunan kompleks yang butuh rancangan matang agar tidak runtuh oleh perubahan zaman.

Seorang pengamat media lain pernah mengatakan bahwa arsitek media adalah sosok yang memadukan intuisi wartawan dengan imajinasi perancang. Ia berpikir layaknya seorang jurnalis, tetapi bertindak layaknya seorang arsitek bangunan. Ia memastikan media tidak hanya hidup, tetapi juga relevan.

Pendapat ini terasa semakin relevan di era digital sekarang. Media tidak lagi cukup dengan cetak atau siaran tunggal. Mereka harus hadir di multiplatform, memahami algoritma, beradaptasi dengan ekosistem daring, bahkan menyusun narasi yang bisa bersaing dengan media sosial.

Tantangan di Era Digital

Kita bisa melihat bagaimana Najwa Shihab dengan Narasi mencoba memainkan peran arsitek media di era kontemporer. Ia tidak hanya menyiarkan program berita, melainkan membangun ekosistem multiplatform yang merangkul komunitas, media sosial, dan ruang advokasi publik. Narasi adalah contoh bagaimana arsitektur media bisa bergerak luwes mengikuti zaman tanpa kehilangan kredibilitas jurnalistik.

Namun, tidak semua media berhasil. Banyak media lokal runtuh bukan karena kekurangan wartawan yang pintar menulis, melainkan karena tidak ada yang bertindak sebagai arsitek. Mereka bisa saja kaya berita, tetapi miskin rancangan. Tidak ada visi, tidak ada strategi, dan tidak ada jembatan antara idealisme jurnalisme dengan realitas bisnis.

Di era algoritma, arsitek media juga ditantang untuk mengatur bagaimana media tetap relevan tanpa kehilangan jati diri. Media bisa saja tergoda mengikuti selera pasar semata, misalnya clickbait, sensasi, atau provokasi. Tetapi seorang arsitek media akan tahu bahwa fondasi yang rapuh tidak akan bertahan lama. Ia merancang agar media tetap sehat, kredibel, independen, dan berkelanjutan.

Antara Idealisme dan Realisme

Bagi saya pribadi, peran arsitek media adalah jembatan antara idealisme dan realisme. Di satu sisi, ia menjaga nilai luhur jurnalisme: kebenaran, independensi, dan keberpihakan pada publik. Di sisi lain, ia merancang strategi agar media bisa bertahan secara finansial, teknologi, dan budaya. Tanpa rancangan arsitektural yang matang, media akan mudah runtuh bahkan sebelum badai besar benar-benar datang.

Seorang arsitek media memahami bahwa berita bukan sekadar teks, melainkan bagian dari ekosistem sosial. Ia memikirkan desain ruang redaksi, strategi distribusi, model bisnis, hingga tata kelola digital. Ia memastikan media mampu menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi sekaligus entitas ekonomi yang sehat.

Refleksi untuk Media Lokal

Bagi media lokal seperti yang saya kelola, gagasan tentang arsitek media menjadi semakin penting. Media lokal sering kali hidup di bawah bayang-bayang media besar, terhimpit oleh keterbatasan modal dan sumber daya. Namun, justru di sinilah peran arsitek media dibutuhkan, merancang bagaimana media lokal bisa relevan, berakar pada komunitas, dan sekaligus memanfaatkan teknologi.

Tanpa rancangan, media lokal mudah tenggelam. Tetapi dengan rancangan yang tepat, mulai dari visi editorial, strategi distribusi, hingga model kolaborasi, media lokal bisa menjadi pilar demokrasi di tingkat akar rumput.

Kembali pada ungkapan yang saya dengar di Surabaya itu: Media hari ini tak cukup hanya dikelola. Ia harus didesain, disusun, dan diarahkan. Kalimat itu sederhana, tetapi mengandung makna mendalam. Media bukan sekadar mesin produksi berita, melainkan bangunan kompleks yang memerlukan rancangan matang.

Arsitek media adalah mereka yang berani merancang bangunan itu dengan imajinasi, strategi, dan tanggung jawab. Dari Tirto hingga Jakob Oetama, dari Goenawan hingga Dahlan Iskan, dari Najwa Shihab hingga para penggerak media lokal, kita melihat bagaimana sosok-sosok itu bukan hanya mengelola, tetapi merancang media sebagai institusi yang hidup dan relevan.

Mungkin, pertanyaan yang layak kita renungkan hari ini adalah: sudahkah setiap media memiliki arsiteknya sendiri? Atau jangan-jangan, banyak media yang berjalan tanpa rancangan, hanya mengikuti arus, dan akhirnya runtuh pelan-pelan?

Jika jawabannya ya, maka urgensi untuk melahirkan arsitek media menjadi semakin nyata. Sebab tanpa mereka, media hanyalah bangunan kosong yang menunggu roboh. Dengan mereka, media bisa menjadi rumah kokoh bagi kebenaran, demokrasi, dan masa depan masyarakat. (*)

Oleh: Menot Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media di Bali)