Podiumnews.com / Kolom / Opini

Membangun Narasi di Tengah Badai: Seni Manajemen Krisis

Oleh Nyoman Sukadana • 22 September 2025 • 00:05:00 WITA

Membangun Narasi di Tengah Badai: Seni Manajemen Krisis
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

BAYANGKAN sebuah pagi di bulan April 2017. Dari dalam kabin pesawat United Airlines, sebuah video amatir menyebar cepat ke seluruh dunia. Seorang penumpang, Dr. David Dao, diseret paksa keluar dari kursinya karena masalah overbooking. Adegan itu terekam jelas: wajah berdarah, teriakan protes, dan kepanikan yang terasa nyata. Hanya dalam hitungan jam, media sosial dipenuhi kemarahan. Publik menilai maskapai bukan saja gagal melayani, melainkan juga memperlakukan penumpangnya secara tidak manusiawi.

Bagaimana respon perusahaan? Pernyataan pertama United Airlines terdengar dingin dan defensif. Mereka menyebut penumpang sebagai sosok “disruptive” dan menegaskan bahwa tindakan itu dilakukan demi keselamatan. Tidak ada empati, tidak ada pengakuan bahwa publik merasa tersakiti oleh cara perusahaan menangani masalah. Akibatnya, krisis membesar. Saham United Airlines anjlok, nilainya menyusut miliaran dolar dalam sekejap. Perdebatan tentang etika korporasi merebak hingga forum internasional. Baru setelah tekanan publik makin tak terbendung, perusahaan meminta maaf, mengubah kebijakan overbooking, dan melatih ulang stafnya.

Kisah ini kini dianggap salah satu studi krisis komunikasi paling fenomenal dalam dekade terakhir. Pelajarannya sederhana tetapi keras: bukan peristiwa itu sendiri yang menentukan seberapa besar krisis, melainkan bagaimana institusi merespons. Kata-kata dan sikap dalam jam-jam pertama menjadi penentu apakah publik merasa dihargai atau ditinggalkan.

Kontras yang Mengajarkan
Jika United Airlines menjadi contoh kegagalan, maka tragedi Tylenol tahun 1982 sering disebut sebagai kisah emas manajemen krisis. Kala itu, Johnson & Johnson menghadapi kenyataan pahit: beberapa orang tewas setelah menelan kapsul Tylenol yang tercemar sianida. Perusahaan bisa saja menyangkal atau berlindung di balik teknis penyelidikan. Namun yang dilakukan justru sebaliknya: mereka menarik seluruh produk dari pasar, rugi ratusan juta dolar, dan berkomunikasi secara terbuka setiap hari.

Keputusan itu bukan sekadar teknis, melainkan narasi. Publik melihat perusahaan menempatkan keselamatan manusia di atas keuntungan. Perlahan, kepercayaan pulih. Tylenol bahkan kembali menjadi salah satu produk obat terlaris di Amerika. Dua kasus ini, United Airlines dan Tylenol, memperlihatkan kontras. Yang satu jatuh karena defensif, yang lain bangkit karena transparan.

Cermin bagi Humas Pemerintah
Dari maskapai di Amerika, kita bisa bercermin pada lembaga publik di Indonesia. Krisis komunikasi bukan barang baru di negeri ini. Ia lahir dari berbagai sumber: bencana alam yang tidak tertangani dengan baik, kebijakan yang membingungkan publik, hingga pernyataan pejabat yang viral karena emosional. Setiap kali itu terjadi, kepercayaan publik yang sudah rapuh makin terkikis.

Humas pemerintah kerap gagap ketika berhadapan dengan logika publik digital. Banyak yang masih bekerja dengan pola lama: siaran pers satu arah, bahasa penuh jargon, atau klarifikasi kaku. Padahal publik hari ini bukan hanya penerima pesan. Mereka juga produsen narasi yang aktif membentuk opini. Sekali narasi tandingan menguat, sulit bagi klarifikasi resmi untuk mengejarnya.

Pengamat komunikasi Indonesia, Effendi Gazali, berulang kali mengingatkan bahwa komunikasi publik bukan semata keterampilan teknis. Ia adalah soal etika, sensitivitas, dan kejujuran. Pejabat publik, katanya, harus sadar bahwa setiap kata yang meluncur bisa menjadi pemantik keretakan sosial bila tidak ditempatkan dengan tepat. Humas dalam kerangka ini tidak boleh hanya menjadi tukang rilis, melainkan penjaga agar pejabat tetap berada dalam koridor etika komunikasi.

Teori yang Mengajarkan
W. Timothy Coombs melalui Situational Crisis Communication Theory (SCCT) menekankan pentingnya membaca persepsi publik. Apakah lembaga dipandang sebagai korban, pelaku, atau pihak yang lalai? Jika dipandang sebagai korban, seperti ketika terjadi bencana alam, narasi solidaritas dan empati bisa efektif. Tetapi bila publik menilai ada kelalaian, maka yang dibutuhkan adalah transparansi, permintaan maaf, dan langkah perbaikan. Sikap defensif hanya memperparah luka.

Hal yang sama ditegaskan oleh James E. Grunig lewat model komunikasi dua arah simetris. Komunikasi ideal adalah komunikasi yang bukan hanya memberi tahu, tetapi juga mendengar. Ada ruang dialog, pengakuan terhadap kepentingan publik, dan upaya mencapai keseimbangan. Sayangnya, praktik humas pemerintah masih sering terjebak dalam model satu arah.

Belajar dari Daerah
Beberapa studi di daerah memberi gambaran nyata. Penelitian di Jawa Timur menunjukkan banyak pemda tidak memiliki SOP manajemen krisis. Monitoring isu berjalan seadanya, pelatihan jarang dilakukan. Tetapi ketika kepala daerah mereka terkena OTT, humas terpaksa bergerak cepat: menggelar konferensi pers, menjalin hubungan dengan media, dan menyediakan informasi resmi.

Di Semarang, saat banjir melumpuhkan kota, Dinas Kominfo mengaktifkan PPID, website resmi, dan media sosial untuk memberi informasi evakuasi. Langkah ini mengurangi kepanikan sekaligus membendung kabar bohong. Di Aceh, pemerintah menyiapkan pedoman komunikasi krisis yang menekankan fungsi humas sebagai “mata dan telinga” pemerintah, peka menangkap riak kecil sebelum berubah menjadi badai.

Dari kisah-kisah ini terlihat pola yang sama: humas lebih sering reaktif ketimbang proaktif. Mereka bergerak setelah krisis meledak, bukan sejak tanda-tandanya muncul. Padahal krisis komunikasi sejatinya soal kecepatan dan empati. Respon yang lambat sama berbahayanya dengan respon yang salah.

Tantangan di Era Digital
Era digital melipatgandakan risiko krisis. Media sosial membuat setiap orang bisa menjadi jurnalis dadakan, merekam, membagikan, dan mengomentari. Apa yang dulu tersembunyi di ruang rapat kini bisa viral dalam hitungan detik. Karena itu, humas pemerintah tidak boleh hanya reaktif. Mereka harus proaktif: membangun sistem deteksi dini, melatih pejabat tentang etika komunikasi publik, dan membuka kanal komunikasi yang responsif.

Krisis juga menguji kemampuan membedakan kritik dengan serangan. Kritik bisa jadi bahan refleksi, sementara serangan bisa bermotif politik. Namun keduanya sama-sama membentuk opini. Maka humas tidak boleh sekadar jadi tukang klarifikasi, melainkan juru narasi yang piawai mengubah tekanan menjadi momentum.

Krisis sebagai Guru
Krisis memang menakutkan, tetapi juga bisa menjadi guru. Ia menguji integritas. Ia menyingkap siapa yang sekadar mengandalkan jargon dan siapa yang benar-benar peduli pada publik. Kasus Tylenol menunjukkan bahwa keterbukaan bisa menyelamatkan. Kasus United Airlines memperlihatkan bagaimana defensif bisa menenggelamkan. Kasus-kasus lokal di Indonesia mengajarkan bahwa lambat merespons sama saja dengan memperbesar kerusakan.

Dalam badai, kata-kata adalah jangkar. Jika kata-kata jujur, empatik, dan disertai solusi, ia akan menenangkan ombak. Tetapi jika kata-kata dingin, penuh pembelaan, atau tak menyentuh rasa publik, ia justru memperbesar badai.

Menjahit Ulang Kepercayaan
Yang dipertaruhkan dalam setiap krisis bukan hanya citra, melainkan legitimasi. Bagi korporasi, itu berarti nilai saham. Bagi pemerintah, itu berarti kepercayaan masyarakat. Krisis harus dipandang bukan sebagai malapetaka, melainkan sebagai kesempatan. Kesempatan untuk menunjukkan keterbukaan, empati, dan tanggung jawab.

Humas pemerintah harus menempatkan diri bukan sebagai pelindung wajah penguasa, melainkan sebagai penghubung yang jujur antara pemerintah dan rakyat. Dengan begitu, setiap krisis bisa menjadi titik balik. Badai memang bisa merobohkan, tetapi ia juga bisa membersihkan langit. Yang tersisa hanyalah pilihan: apakah kita membiarkan diri tersapu, atau berani membangun narasi di tengah badai. (*)

Oleh: Menot Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media di Bali)