Podiumnews.com / Kolom / Opini

Game of Attention: Ujian dan Peluang Humas Pemda

Oleh Nyoman Sukadana • 23 September 2025 • 02:16:00 WITA

Game of Attention: Ujian dan Peluang Humas Pemda
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

KRISIS komunikasi hari ini tak selalu lahir dari bencana alam, konflik sosial, atau perkara hukum besar. Krisis dapat bermula dari video amatir berdurasi singkat, sepotong percakapan yang direkam sembunyi-sembunyi, atau unggahan pendek di media sosial yang memantik emosi publik. Arus konten yang tak henti bergerak mampu mengubah serpihan informasi menjadi opini dominan dalam hitungan menit.

Contoh nyata mudah ditemukan. Beberapa waktu lalu, sebuah video pelayanan publik di salah satu kabupaten beredar di TikTok. Seorang pegawai tampak menolak warga karena kekurangan dokumen administrasi. Video tersebut ditonton ratusan ribu kali, disalin ke berbagai kanal, dan sehari kemudian menjadi sorotan media nasional. Klarifikasi resmi baru hadir belakangan, sementara opini publik telah terlanjur menghakimi birokrasi sebagai arogan dan diskriminatif. Fakta menyusul, persepsi mendahului.

Fenomena ini menandai era permainan perhatian, game of attention, ketika perhatian publik menjadi komoditas yang diperebutkan. Siapa pun yang mampu merebutnya akan mengendalikan bingkai peristiwa. Buzzer dan influencer memahami medan ini, menguasai cara kerja algoritma, mengetahui waktu terbaik melempar isu, dan piawai mengemas emosi agar tampak sebagai agenda utama. Bagi humas pemerintah daerah, situasi ini merupakan ujian berat. Satu kelengahan kecil dalam komunikasi dapat membesar menjadi krisis reputasi. Isu lokal bisa melebar menjadi isu nasional. Peran humas tak lagi sekadar corong informasi, melainkan pengelola krisis yang menjaga kepercayaan serta memastikan warga memperoleh informasi jernih di tengah kebisingan digital.

Krisis Persepsi di Era Digital

Krisis komunikasi di era digital terutama bertumpu pada persepsi. Publik menafsirkan peristiwa dari potongan informasi yang beredar, sebelum fakta lengkap tersaji. Video pendek mudah dimaknai sebagai kesewenang-wenangan, kebijakan yang kurang dijelaskan mudah dituduh diskriminatif. Survei dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa kecepatan serta transparansi memengaruhi derajat kepercayaan. Ketika institusi hadir cepat dengan bahasa yang dapat dipahami, penilaian publik cenderung lebih lunak, bahkan saat informasi belum sepenuhnya lengkap.

Masalahnya, pola kerja lama humas pemerintah daerah cenderung birokratis. Kebiasaan menunggu arahan, menyusun siaran pers panjang, dan mengandalkan konferensi pers formal membuat respons tertunda. Ritme media sosial tak menunggu. Keterlambatan beberapa puluh menit saja cukup untuk mengunci persepsi publik.

Dari sini terlihat pola kegagalan yang berulang. Respons kalah cepat dibanding narasi yang berkembang. Bahasa kaku penuh jargon terasa jauh dari keseharian warga. Sikap defensif menggantikan empati, seolah kekeliruan adalah aib yang harus ditutupi. Koordinasi lintas sektor lemah sehingga klarifikasi parsial mudah dipatahkan narasi lain. Kanal digital resmi masih berfungsi seperti papan pengumuman, bukan ruang dialog. Social listening jarang dilakukan, akibatnya isu baru disadari saat sudah telanjur membesar. Narasi tandingan tidak disiapkan, ruang kosong dibiarkan diisi pihak yang lebih gesit.

Menata Ulang Strategi Komunikasi

Perubahan paradigma menjadi kebutuhan mendesak. Pemantauan percakapan publik harus dilakukan secara aktif. Social listening bukan pelengkap, melainkan fondasi pra-krisis agar potensi isu terdeteksi sejak dini, aktor yang berperan terpetakan, dan eskalasi dapat diantisipasi.

Kecepatan menjadi penentu berikutnya. Publik perlu merasakan kehadiran pemerintah, meski informasi awal belum lengkap. Pernyataan singkat yang jujur, seperti “kami sedang menelusuri dan akan segera memberi penjelasan resmi,” lebih menenteramkan dibanding diam yang berkepanjangan. Dalam teori komunikasi krisis, kecepatan membentuk persepsi kompetensi lembaga pada fase paling kritis.

Bahasa sederhana dan humanis harus diutamakan. Warga ingin diperlakukan sebagai manusia yang memiliki rasa, bukan sekadar objek informasi. Kalimat ringkas, jelas, serta menyentuh empati bekerja lebih efektif dibanding jargon teknis. Sikap defensif sebaiknya ditanggalkan. Pengakuan atas kekeliruan disertai langkah perbaikan lebih dihargai ketimbang putaran kata yang membela diri.

Transparansi dan konsistensi melengkapi fondasi. Pesan yang jujur dan seragam di seluruh kanal menguatkan rasa percaya. Inkonsistensi memantik curiga dan mempercepat erosi reputasi. Jejaring lintas sektor perlu diperkuat. Krisis komunikasi kerap menyentuh ranah sosial, ekonomi, kesehatan, juga keamanan. Kolaborasi dengan tokoh masyarakat, akademisi, serta micro-influencer yang dipercaya publik akan memperluas jangkauan pesan dan meningkatkan kredibilitas.

Penguasaan bercerita visual menjadi kunci tambahan. Teks panjang sering kalah cepat dari video singkat atau infografis yang mudah dibagikan. Data yang rumit perlu diolah menjadi visual yang memudahkan pemahaman sekaligus mengundang partisipasi. Upaya jangka panjang harus diarahkan pada literasi digital publik. Warga perlu dibekali kemampuan membedakan fakta dari manipulasi, memahami cara buzzer bekerja, dan mengkritisi framing yang menyesatkan. Tanpa publik yang cerdas, siklus krisis akan berulang.

Manajemen Krisis dalam Ilmu Komunikasi

Literatur ilmu komunikasi menempatkan manajemen krisis sebagai proses terstruktur untuk meminimalkan kerusakan reputasi. Kerangka umum membagi proses ke dalam tiga tahap: pra-krisis, respons krisis, dan pascakrisis. Tahap pra-krisis menekankan pemantauan isu, pelatihan, dan rencana respons. Tahap respons krisis menuntut komunikasi yang cepat, konsisten, empatik. Tahap pascakrisis berfokus pada pemulihan kepercayaan serta pembelajaran institusional agar kesalahan tak berulang.

Jika kerangka ini diterapkan pada konteks pemerintah daerah, titik lemah tampak jelas. Tahap pra-krisis kerap diabaikan, sehingga isu tak terdeteksi sebelum membesar. Tahap respons dijalankan terlambat dengan bahasa yang kaku, sehingga publik merasa tak ditemani. Tahap pascakrisis jarang dioptimalkan untuk memulihkan kepercayaan dan merevisi prosedur. Hasilnya, setiap krisis terasa baru, padahal polanya berulang.

Perbaikan perlu menyasar tiga tahap sekaligus. Pada pra-krisis, bangun sistem social listening, latih juru bicara, siapkan protokol lintas sektor, dan susun bank pesan awal untuk skenario yang paling mungkin. Pada respons krisis, hadir cepat dengan pesan inti yang empatik dan jelas, gunakan format visual ketika perlu, dan jaga konsistensi antar kanal. Pada pascakrisis, lakukan audit komunikasi, buka hasil perbaikan kepada publik, dan integrasikan pembelajaran ke SOP agar kelemahan tidak terulang.

Menjaga Ruang Jernih

Setiap krisis komunikasi pada hakikatnya ujian kepercayaan. Publik menilai bukan semata substansi peristiwa, melainkan cara pemerintah menyertai warganya. Respons yang tertunda membuat orang merasa diabaikan. Bahasa yang kaku menimbulkan jarak. Sikap defensif menegaskan ketidakpedulian. Sebaliknya, kehadiran yang cepat membuat orang merasa diperhatikan. Bahasa yang sederhana menghadirkan penghormatan. Transparansi yang dijaga menumbuhkan rasa percaya.

Pada titik inilah krisis berubah menjadi peluang. Pemerintah daerah berkesempatan menunjukkan integritas, kesiapan, serta keberanian mengambil tanggung jawab. Krisis bukan hanya ujian, melainkan pintu untuk memperkuat relasi dengan warga. Ketika fondasi manajemen krisis dijalankan utuh dari pra-krisis hingga pascakrisis, reputasi dapat dipulihkan, bahkan diperkuat. Ruang publik yang semula riuh dapat kembali jernih, karena humas hadir bukan untuk menambah kebisingan, melainkan menata informasi agar warga dapat membedakan yang penting dari yang sekadar bising.

Game of attention tidak harus menjadi arena yang selalu merugikan. Dengan kesiapan, kecepatan, bahasa humanis, transparansi, kolaborasi, serta literasi digital, humas pemerintah daerah mampu mengubah arus liar menjadi aliran yang menyuburkan kepercayaan. Di sana letak peluangnya: merawat legitimasi yang lahir dari rasa dipercaya. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis mengembangkan Podium Ecosystem: integrasi media, konsultan, gaya hidup, dan ruang publik)