Search

Home / Kolom / Opini

Menulis Rilis, Membangun Kepercayaan

Nyoman Sukadana   |    25 September 2025    |   16:59:00 WITA

Menulis Rilis, Membangun Kepercayaan
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

KONFERENSI pers selalu menghadirkan kesibukan khas dunia kehumasan. Teks sambutan dipersiapkan, rilis ditata agar siap dibagikan ke media, dan dokumentasi acara diatur sebaik mungkin. Di balik rutinitas itu, muncul refleksi penting tentang arah profesi: bagaimana humas tidak hanya merawat citra, tetapi juga membangun kepercayaan publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, profesi humas menghadapi tantangan yang kian kompleks. Publik tidak lagi menjadi penerima informasi yang pasif. Mereka kritis, aktif di media sosial, dan memiliki akses pada berbagai sumber informasi. Situasi ini menuntut humas untuk bertransformasi. Jika dahulu cukup menekankan pada pencitraan, kini kepercayaan menjadi ukuran utama.

Di ajang Anugerah Humas Indonesia 2025, Suko Widodo menekankan perlunya perubahan paradigma. Humas sejati tidak berhenti pada kegiatan seremonial atau penyusunan berita acara, melainkan dituntut menunjukkan akuntabilitas komunikasi. Kepercayaan publik tidak lahir dari foto-foto pejabat tersenyum, melainkan dari konsistensi informasi yang terbuka, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Contoh sederhana bisa ditemukan dalam praktik keseharian lembaga yang mau membuka catatan keuangan secara publik, seperti yang dilakukan oleh Masjid Jogokariyan di Yogyakarta. Transparansi yang ditunjukkan melalui papan pengumuman pemasukan dan pengeluaran infak menciptakan kepercayaan jamaah tanpa perlu kampanye besar-besaran. Inilah inti komunikasi akuntabel: publik merasa dihargai karena tidak ada yang ditutup-tutupi.

Dalam konteks kelembagaan, praktik serupa bisa diadopsi. Humas tidak cukup hanya merilis siapa yang hadir dalam rapat, tetapi harus menyampaikan apa yang diputuskan dan bagaimana keputusan itu berdampak bagi masyarakat. Alih-alih menjejalkan publik dengan deretan foto kegiatan, humas dituntut menjawab pertanyaan publik yang lebih substansial: apa yang berubah setelah kegiatan itu berlangsung?

Pergeseran orientasi ini sejalan dengan pandangan para pakar komunikasi publik. James E. Grunig menekankan pentingnya model komunikasi dua arah simetris, yakni pola interaksi yang memungkinkan dialog timbal balik antara lembaga dan masyarakat. Dalam model ini, humas tidak hanya menyampaikan pesan dari atas ke bawah, tetapi juga mendengar, menampung, dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan aspirasi publik.

Peran strategis humas semakin nyata ketika krisis melanda. Ulrich Beck dalam gagasannya tentang risk society menyebut bahwa risiko di era modern tidak hanya berupa bencana alam, melainkan juga risiko komunikasi. Informasi yang salah, terlambat, atau disembunyikan bisa memicu kepanikan lebih besar daripada bencana itu sendiri. Di sinilah letak pentingnya humas untuk hadir sebagai penjaga arus informasi yang jujur dan cepat.

Maka, pola komunikasi yang ditawarkan Suko Widodo patut digarisbawahi: transparan sebelum ada yang meminta, responsif bukan defensif, dan selalu berorientasi pada publik. Pola ini bukan hanya idealisme, melainkan kebutuhan praktis di era keterbukaan. Pemerintah kota Surabaya dengan command center yang membuka data secara real-time, maupun BPBD Jawa Timur yang tanggap dalam situasi bencana, menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dapat diinstitusikan dalam kerja humas.

Persoalan lain yang juga krusial adalah soal bagaimana humas menulis rilis. Sebuah rilis tidak boleh sekadar menjadi laporan kegiatan, tetapi harus menyajikan informasi dengan sudut pandang yang relevan bagi publik. Menulis rilis berarti memilih angle yang tepat, bukan sekadar menyalin susunan acara. Misalnya, alih-alih menuliskan panjang lebar siapa saja yang hadir, rilis seharusnya menekankan apa kebijakan baru yang lahir dari pertemuan tersebut, bagaimana dampaknya bagi masyarakat, atau solusi apa yang ditawarkan lembaga. Dengan cara itu, rilis menjadi sarana edukasi dan penjelasan publik, bukan sekadar arsip kegiatan.

Setiap paragraf rilis harus ditulis dengan kesadaran bahwa publik mencari makna, bukan sekadar dokumentasi. Inilah yang membedakan humas yang berorientasi pada citra dengan humas yang membangun kepercayaan. Humas yang hanya menyalin berita acara akan terjebak pada formalitas, sementara humas yang peka pada kebutuhan publik akan melahirkan komunikasi yang bernilai.

Fungsi kehumasan sendiri sesungguhnya tidak hanya teknis, tetapi juga strategis. Humas adalah jembatan antara lembaga dan masyarakat. Ia berfungsi sebagai penyampai informasi, pengelola isu, sekaligus penjaga reputasi. Namun, lebih jauh dari itu, humas strategis adalah mereka yang mampu memengaruhi kebijakan melalui perspektif publik yang dibawanya. Di sinilah humas bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian inti dari tata kelola kelembagaan.

Tantangan humas kini tidak bisa dilepaskan dari ekosistem digital. Media sosial membuka ruang komunikasi yang tanpa batas sekaligus sarat risiko. Di satu sisi, ia menjadi sarana untuk menjangkau publik secara cepat. Di sisi lain, ia menghadirkan ancaman disinformasi yang bisa meruntuhkan kepercayaan dalam sekejap. Oleh karena itu, humas dituntut menguasai literasi digital dan memiliki strategi komunikasi yang mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan etika.

Di tengah arus deras informasi, humas tidak boleh sekadar menjadi pengikut tren. Peran strategis humas justru diuji ketika harus memilah mana informasi yang layak, mana yang menyesatkan, dan bagaimana menyajikannya dalam bahasa yang dapat dipahami publik. Humas bukan sekadar corong, melainkan filter sekaligus penafsir kebijakan yang menuntun masyarakat memahami arah dan tujuan lembaga.

Etika menjadi landasan penting. Komunikasi publik yang manipulatif mungkin bisa menghasilkan dampak sesaat, tetapi akan cepat runtuh begitu publik menemukan ketidaksesuaian dengan kenyataan. Karena itu, integritas harus selalu menjadi bagian dari kerja kehumasan. Menyampaikan apa adanya, mengakui keterbatasan, dan memberi ruang bagi kritik adalah bagian dari upaya membangun kredibilitas jangka panjang.

Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa membangun kepercayaan publik tidak bisa ditempuh dengan cara instan. Ia lahir dari konsistensi, akuntabilitas, dan kerendahan hati dalam berkomunikasi. Profesi humas ditantang untuk melampaui seremonial menuju pelayanan publik yang nyata. Ke depan, kualitas humas akan diukur bukan dari seberapa megah acara yang digelar, melainkan seberapa dalam kepercayaan yang berhasil ditumbuhkan. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: media, konsultan, gaya hidup & ruang publik) 

Baca juga :
  • Game of Attention: Ujian dan Peluang Humas Pemda
  • Membangun Narasi di Tengah Badai: Seni Manajemen Krisis
  • Arsitek Media: Imajinasi, Strategi, dan Tanggung Jawab Publik