MEDIA online di Bali telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Jumlahnya terus bertambah, seolah setiap tahun lahir media baru yang mencoba bertahan di ruang digital. Namun, pertumbuhan ini tidak dibarengi dengan peningkatan sumber daya maupun pendapatan yang signifikan. Sebagian besar media online di Bali masih digolongkan dalam kategori usaha mikro. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi serta UMKM, usaha mikro didefinisikan sebagai usaha dengan omzet tahunan paling banyak Rp2 miliar. Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar media online di Bali baru mampu meraih omzet di kisaran Rp200 juta hingga Rp300 juta per tahun, bahkan lebih banyak lagi yang berada di bawah angka tersebut. Dengan kondisi itu, sulit menyebut media online di Bali sudah naik kelas menjadi usaha kecil. Sebaliknya, banyak yang masih hidup segan mati pun tak mau. Mereka tetap eksis, namun berjalan dengan sumber daya terbatas. Sementara itu, jumlah pemain terus bertambah, membuat kompetisi kian padat dan keras. Situasi ini mirip dengan apa yang disebut Renald Kasali dalam bukunya Disruption (2017) sebagai red ocean, yakni ruang pasar yang dipenuhi pemain sehingga persaingan tidak sehat lagi. Perusahaan yang berada di red ocean hanya akan saling berebut pasar yang makin sempit, hingga pada akhirnya saling melukai. Red Ocean Media Lokal Kondisi red ocean media online Bali terlihat jelas. Jumlah media bertambah banyak, namun sumber iklan, terutama dari belanja pemerintah daerah, tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Akibatnya, pemain media hanya berebut kue yang sama dengan jumlah yang tidak bertambah besar. Ketergantungan pada iklan pemerintah membuat media-media ini rentan. Setiap perubahan kebijakan anggaran, mereka langsung merasakan dampaknya. Belum lagi tekanan politik yang bisa menyertai belanja iklan pemerintah, yang kadang menggerus independensi pers. Sementara iklan swasta, terutama dari sektor pariwisata yang menjadi andalan Bali, belum banyak digarap serius oleh media lokal. Model bisnis media di Bali masih cenderung bergantung pada pola lama yang sempit. Fenomena ini selaras dengan teori yang dikemukakan W. Chan Kim dan Renée Mauborgne dalam Blue Ocean Strategy (2005). Mereka menjelaskan bahwa organisasi yang terjebak di red ocean akan terlibat dalam kompetisi tanpa ujung. Semua berebut pangsa pasar lama, hingga akhirnya saling menggerus tanpa menghasilkan nilai baru. Jalan keluar hanya mungkin jika berani menciptakan blue ocean, yaitu ruang pasar baru yang belum banyak disentuh pesaing. Mencari Blue Ocean Bagi media online di Bali, jalan keluar tidak bisa lagi bertumpu pada pola lama. Ketergantungan pada iklan pemerintah perlu dikurangi dengan mencari ceruk pasar baru. Ada banyak peluang yang sebenarnya terbuka. Media lokal bisa mengembangkan konten pariwisata berbahasa asing untuk menjangkau pasar internasional, membangun platform komunitas digital yang menghubungkan warga dengan wisatawan, menyediakan layanan kreatif berbasis data lokal, atau mengembangkan kegiatan offline seperti event budaya, literasi, hingga festival komunitas. Renald Kasali dalam Disruption menegaskan bahwa organisasi yang bertahan adalah mereka yang mampu menciptakan ruang baru, bukan sekadar ikut berebut di ruang lama. Pesan ini sangat relevan bagi media di Bali. Alih-alih berebut kue iklan pemerintah yang makin mengecil, media bisa memperluas sumber pendapatan melalui diversifikasi. Misalnya dengan menghadirkan ruang konten berbayar, kerja sama lintas sektor dengan dunia pendidikan dan UMKM, atau membangun brand media yang kuat di mata publik sehingga lebih dipercaya oleh sektor swasta. Di sinilah peluang blue ocean itu dapat diraih. Bali memiliki basis ekonomi pariwisata, budaya, dan komunitas yang sangat kaya. Jika media lokal berani mengintegrasikan kekuatan digital dengan kekayaan lokal, mereka bisa menemukan jalan baru. Misalnya dengan melahirkan kanal khusus yang mengangkat cerita desa wisata, pasar seni, atau keberlanjutan lingkungan. Pasar global haus akan konten autentik dari Bali, dan media lokal bisa menjadi pintu masuk yang kredibel. Namun, menemukan ceruk pasar baru saja tidak cukup. Media pada hakikatnya bukan hanya entitas bisnis. Ia juga merupakan lembaga sosial yang membawa tanggung jawab publik. Media harus tetap menjalankan fungsi edukasi, kontrol sosial, sekaligus pilar demokrasi. Peran Profetik Pers Di sinilah konsep profetik perlu diangkat kembali. Kuntowijoyo dalam bukunya Ilmu Sosial Profetik (1993) memperkenalkan gagasan bahwa ilmu sosial seharusnya tidak berhenti pada deskripsi realitas, tetapi harus berfungsi transformatif, emansipatoris, dan spiritual. Konsep ini kemudian diadaptasi ke dalam ranah komunikasi, melahirkan istilah pers profetik. Parni Hadi, seorang wartawan senior, dalam bukunya Jurnalisme Profetik (2003) menyebut bahwa peran pers nyaris menyerupai tugas kenabian. Pers tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga kebenaran, menegakkan keadilan, dan membela kemanusiaan. Jurnalisme profetik menuntut pers untuk hadir sebagai pengawal nurani publik, bukan sekadar saluran netral yang menyampaikan apa adanya. Bagi Bali, peran profetik pers sangat penting. Pulau ini tidak hanya dikenal sebagai destinasi pariwisata dunia, tetapi juga memiliki identitas budaya yang khas. Pers yang sehat akan mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi pariwisata dan pelestarian nilai budaya. Pers profetik bisa berperan sebagai pengingat, bahwa di balik gemerlap pariwisata, ada identitas dan nilai lokal yang harus dijaga. Pers yang sehat juga akan memberi kontribusi bagi citra Bali di mata dunia. Informasi yang jernih, kredibel, dan bernuansa budaya akan membantu pariwisata Bali tumbuh secara berkelanjutan. Sebaliknya, media yang rapuh dan hanya mengejar iklan jangka pendek berpotensi menjerumuskan Bali pada komodifikasi budaya yang dangkal. Jalan Baru Media Bali Kondisi red ocean yang kini dihadapi media online Bali tidak bisa terus dibiarkan. Jalan keluar hanya bisa ditempuh dengan dua langkah strategis. Pertama, mencari blue ocean yang memungkinkan media menciptakan ceruk baru di luar ketergantungan pada iklan pemerintah. Kedua, memperkuat peran profetik pers, sehingga media tidak kehilangan arah dalam menjalankan tugas utamanya sebagai lembaga demokrasi dan pengawal nilai. Memang tidak mudah. Banyak media online lokal yang masih hidup segan mati tak mau. Namun bila terus bertahan di pola lama, stagnasi hanya akan makin dalam. Bali membutuhkan media yang berani melompat ke ruang baru, memadukan profesionalisme bisnis dengan kesetiaan pada nilai-nilai jurnalistik. Renald Kasali mengingatkan bahwa disruption tidak membunuh mereka yang adaptif, justru melahirkan pemenang baru. Bagi media Bali, pemenang itu bukan hanya yang mampu bertahan secara finansial, tetapi juga yang bisa menjalankan peran profetik. Media yang bisa menjaga kebenaran, membela keadilan, serta merawat identitas budaya, akan menjadi suluh bagi masyarakat di tengah perubahan zaman. (*) Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: media, konsultan, gaya hidup & ruang publik)
Baca juga :
• Ketika Diam Lebih Bernilai dari Kata
• Bunuh Diri, Absurdisme dan Manusia Pesimis
• Kiblat Musik Indonesia Bermula dari Flobamora