Search

Home / Kolom / Opini

Bunuh Diri, Absurdisme dan Manusia Pesimis

Nyoman Sukadana   |    27 September 2025    |   19:15:00 WITA

Bunuh Diri, Absurdisme dan Manusia Pesimis
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada, Gede Agus Siswadi (dok/pribadi)

“Hidup memang tidak masuk akal, tidak jelas dan absurd, tetapi justru dalam ketidakmasukakalan itulah manusia menemukan kebebasan untuk terus hidup dan menciptakan makna”

ANGKA bunuh diri di Bali menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Kepolisian Republik Indonesia, pada tahun 2023 tercatat sebanyak 121 kasus bunuh diri di Bali. Meskipun mengalami sedikit penurunan, pada tahun 2024 tetap terdapat sekitar 95 kasus yang dilaporkan hingga saat ini. Angka-angka ini mencerminkan adanya persoalan serius terkait kesehatan mental, tekanan sosial, dan kurangnya dukungan psikososial yang memadai di tengah masyarakat.

Tingginya kasus bunuh diri tersebut seolah kontradiktif dengan realitas Bali yang dijuluki sebagai pulau Surga yang dikenal dengan kerukunan dan ketaatan masyarakatnya dalam menjalankan ajaran-ajaran agama serta nilai budayanya yang luhur, ditambah lagi dengan dukungan keindahan alamnya. Dalam perspektif budaya, angka-angka bunuh diri itu bisa mengindikasikan suatu transformasi nilai budaya yang sangat mendasar atau sedang terjadi tragedy peradaban yang paling memilukan. Dalam konteks bunuh diri orang Bali, terjadi fenomena yang tidak lazim, jika kita bandingkan dengan masyarakat modern pada umumnya, maka bunuh diri dianggap sebagai peristiwa biasa yang sama sekali tidak mengundang perhatian mereka. namun, di Bali yang terjadi justru heboh dan geger besar. Mengapa demikian? dalam perspektif spiritual, kehidupan sebagai manusia merupakan Tingkat kehidupan paling utama di antara seluruh makhluk hidup lain yang diciptakan Tuhan. Karena itu, fakta bunuh diri merupakan anti klimak dari cita-cita kebebasan spiritual. Dengan kata lain, bunuh diri merupakan tindakan yang mengingkari harkat dan martabat manusia sebagai makhluk utama ciptaan Tuhan.

Apabila kita renungkan lebih dalam serta bawa persoalan ini pada konteks filsafat, maka kita akan berangkat dari sebuah pertanyaan “apa sesunguhnya arti kehidupan?” Kehidupan dapat dipandang sebagai sebuah perjalanan yang berlangsung dalam ruang dan waktu, yang dijalani setiap manusia dengan pengalaman yang unik. Pandangan mengenai makna kehidupan sangat beragam, tergantung dari bagaimana seseorang mengalami dan memaknainya. Ada yang melihat kehidupan sebagai rangkaian penderitaan, sementara yang lain menganggapnya sebagai sumber kebahagiaan. Perbedaan ini muncul karena setiap individu memiliki pengalaman hidup, latar belakang, dan pengetahuan yang membentuk cara mereka menafsirkan arti kehidupan.

Salah satu tokoh yang memiliki pandangan khas tentang kehidupan adalah Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis asal Prancis. Ia melihat kehidupan sebagai sesuatu yang absurd atau tidak memiliki kejelasan makna yang universal. Pemikirannya ini didasarkan pada upaya memahami kehidupannya sendiri serta mengamati realitas yang dihadapi manusia, seperti fenomena bunuh diri dan hilangnya kesepakatan bersama tentang tujuan dan makna hidup. Camus menunjukkan bahwa manusia sering mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya tidak memberikan jawaban pasti.

Lebih jauh lagi, Camus meragukan kemampuan ilmu pengetahuan dalam menjelaskan secara tuntas tentang kehidupan dan dunia. Menurutnya, meskipun sains menawarkan pengetahuan yang sistematis, hasilnya tetap bersifat abstrak dan cenderung tidak memuaskan kebutuhan makna manusia. Ia menilai bahwa di balik rasionalitas yang tampak dalam pemikiran manusia, tersimpan sifat irasional dari eksistensi itu sendiri. Oleh karena itu, kehidupan manusia, dalam pandangan Camus, sarat dengan ketegangan antara pencarian makna dan ketidakjelasan realitas yang dihadapi.

Pandangan filsafat Albert Camus tentang absurditas kehidupan banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar seperti Karl Marx, Søren Kierkegaard, dan Friedrich Nietzsche. Ia memulai perenungannya dari pertanyaan mendasar: apakah pengakuan terhadap kenyataan bahwa hidup ini absurd dan sia-sia mengharuskan seseorang untuk mengakhiri hidupnya? Pertanyaan tersebut menjadi titik tolak pemikiran Camus dalam mengembangkan ide-idenya mengenai eksistensi, makna, dan perlawanan terhadap absurditas. Dari hasil pemikiran dan pengamatannya, Camus menolak keras tindakan bunuh diri. Baginya, bunuh diri adalah bentuk kepasrahan total terhadap absurditas kehidupan, sebuah kekalahan dalam menghadapi kenyataan hidup yang tidak pasti dan penuh ketidakjelasan. Menurut Camus, meskipun hidup bergerak menuju kematian dan dipenuhi oleh kekosongan makna, manusia seharusnya tidak menyerah begitu saja, melainkan terus bertahan dan melawan.

Sebagai alternatif terhadap bunuh diri, Camus mengajukan konsep “pemberontakan” terhadap absurditas. Ia menekankan pentingnya kesadaran manusia terhadap ketidakjelasan hidup dan menganjurkan agar manusia terus melawan kondisi itu tanpa harus berharap pada kemenangan akhir. Bagi Camus, hidup memang tidak masuk akal, tetapi justru dalam ketidakmasukakalan itulah manusia menemukan kebebasan untuk terus hidup dan menciptakan makna. Pemberontakan yang dimaksud bukanlah tindakan fisik atau kekerasan, melainkan sikap batin untuk menolak tunduk kepada keputusasaan. Camus percaya bahwa meski hidup tidak memiliki makna yang mutlak, manusia tetap memiliki kemampuan untuk memberinya makna secara bebas. Hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya kemampuan untuk mengisi kekosongan eksistensial dengan makna yang ia ciptakan sendiri.

Ketika seseorang memutuskan bunuh diri karena patah hati atau beban hidup lainnya, menurut Camus, itu adalah bukti bahwa orang tersebut tidak memahami bahwa ketidakjelasan adalah bagian dari kodrat kehidupan. Memilih bunuh diri berarti memilih menyerah atau menjadi manusia yang pesimis, padahal selalu ada cara untuk bangkit dan menjadikan pengalaman pahit sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri. Hidup memang tidak mudah, tetapi tidak berarti kita harus mengakhirinya. Dalam salah satu kutipan terkenalnya, Camus bertanya, “Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?” Pertanyaan sederhana ini menyiratkan pilihan antara mengakhiri hidup atau menikmati momen sederhana dalam hidup meskipun penuh masalah. Filsafat Camus mengajak kita untuk menikmati kehidupan yang absurd ini dengan menciptakan makna kita sendiri. Kesadaran inilah yang bisa menjadi pegangan bagi siapa pun yang sedang bergumul dengan hidup, untuk tetap bertahan dan menemukan kebebasan dalam ketidakpastian. (*)

Oleh: Gede Agus Siswadi (Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada)

Baca juga :
  • Ketika Diam Lebih Bernilai dari Kata
  • Kiblat Musik Indonesia Bermula dari Flobamora
  • Media Online Bali, Antara Red Ocean dan Peluang