KETIKA sebuah tembok di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) akhirnya dibongkar, yang runtuh bukan hanya dinding beton yang menutup akses warga Ungasan. Bersamaan dengannya, runtuh pula jarak antara keputusan politik dan aspirasi publik yang selama ini tertahan. Tetapi seperti banyak peristiwa lain di negeri ini, setiap perobohan tembok selalu meninggalkan pertanyaan: apakah kita benar-benar belajar, atau hanya menunggu tembok berikutnya untuk kembali berdiri. Peristiwa di GWK seharusnya menjadi bahan renungan bersama, terutama bagi dunia pers. Sebab dalam persoalan yang tampak sederhana itu, tersimpan pelajaran besar tentang peran media dalam menjaga agar hak-hak publik tidak terus terpinggirkan di tengah derasnya arus industri pariwisata. Pers memiliki tanggung jawab moral yang tak ringan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai penyampai kabar, tetapi juga sebagai penjaga kesadaran. Dalam kasus GWK, suara publik mulai bergema ketika berita tentang tertutupnya akses warga diberitakan secara luas. Dari ruang redaksi ke ruang publik, perhatian pun menguat, dan tekanan sosial berubah menjadi keputusan politik. Itulah kekuatan media yang bekerja sebagaimana mestinya. Namun tugas pers tidak berhenti di sana. Justru setelah tembok dibongkar, pers harus memastikan agar peristiwa serupa tidak kembali terulang. Sebab tembok bisa saja diruntuhkan, tetapi kebiasaan membangun batas baru sering kali terus hidup dalam bentuk lain: perizinan yang tak transparan, kebijakan yang berat sebelah, atau pengabaian terhadap kepentingan masyarakat lokal. Pers Sebagai Penjaga Nalar Industri pariwisata Bali tidak bisa dipungkiri adalah sumber kehidupan banyak orang. Namun keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ruang sosial warga tidak selalu berjalan harmonis. Ketika suara masyarakat kalah nyaring dari kepentingan modal, di situlah pers semestinya hadir. Peran media bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan untuk menegaskan batas antara kemajuan yang menyejahterakan dan pembangunan yang menyingkirkan. Dengan tulisan yang jernih dan investigasi yang mendalam, pers dapat menjadi penuntun arah kebijakan publik. Ia dapat mengingatkan bahwa pembangunan yang tidak menempatkan manusia sebagai pusatnya hanya akan melahirkan luka sosial. Lebih dari Sekadar Berita Banyak media terjebak dalam pola liputan reaktif, hanya muncul saat konflik mencuat dan menghilang begitu isu reda. Padahal, tugas jurnalisme yang sesungguhnya bukan hanya memberitakan kejadian, tetapi mengawal proses sampai persoalan benar-benar selesai. Dalam konteks GWK, misalnya, liputan mendalam tentang perjalanan konflik, dasar hukum kepemilikan lahan, atau dampak sosial bagi warga, akan memperkaya kesadaran publik dan mempersempit ruang manipulasi informasi. Pers juga dapat mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada keseimbangan sosial. Dengan cara itu, jurnalisme berperan sebagai peta moral di tengah jalan pembangunan yang sering berliku. Jurnalisme yang Mendidik Salah satu peran penting pers lokal adalah mendidik masyarakat untuk memahami hak-haknya. Liputan yang mengangkat arti penting ruang publik, akses jalan, atau hak warga dalam tata ruang bukanlah sekadar berita teknis. Itu adalah bentuk pendidikan sosial. Ketika publik memahami haknya, maka kontrol sosial menjadi lebih kuat. Warga tidak lagi hanya menjadi penonton dari perubahan di lingkungannya sendiri, tetapi menjadi bagian dari prosesnya. Dan di situlah jurnalisme menemukan nilai sejatinya: bukan hanya menyampaikan kabar, tetapi menyalakan kesadaran. Mengawal Kebijakan, Merawat Kepercayaan Pemerintah, dalam banyak hal, membutuhkan media untuk menjadi pengingat. Ketika semangat pembangunan terlalu berorientasi pada proyek, pers dapat menjadi cermin yang memantulkan suara yang tak terdengar. Itulah fungsi jurnalisme publik yang bekerja bukan demi sensasi, tetapi demi keseimbangan. Kepercayaan masyarakat terhadap media juga tumbuh dari konsistensi ini. Ketika media lokal terus mengawal isu-isu publik dengan jernih, publik akan kembali melihat pers sebagai sahabat yang melindungi kepentingan bersama, bukan sekadar pemburu klik. Mencegah Tembok yang Tak Terlihat Tembok fisik seperti di GWK bisa dirobohkan dengan alat berat. Namun ada tembok lain yang jauh lebih sulit dibongkar: tembok ketidakpedulian. Ia muncul dari diamnya publik, lemahnya kontrol sosial, dan menurunnya kualitas jurnalisme yang seharusnya menjadi penjaga nilai. Pers yang kuat dan berintegritas adalah benteng terakhir agar tembok semacam itu tidak tumbuh. Karena setiap kali media berhenti bersuara, selalu ada pihak yang mulai menegakkan dinding baru, perlahan tapi pasti. Suara yang Tak Boleh Padam Dalam konteks Bali, jurnalisme yang jernih dan berimbang adalah kebutuhan mendasar untuk menjaga keseimbangan antara ekonomi dan kemanusiaan. Sebab pulau ini tidak dibangun hanya oleh hotel dan resort, tetapi juga oleh nilai, doa, dan kearifan masyarakat yang menjaganya. Ketika tembok GWK dirobohkan, sesungguhnya yang diuji bukan hanya komitmen pemerintah, tetapi juga kepekaan media. Apakah pers cukup peka untuk terus mengawal, menulis, dan menjaga agar hak publik tidak lagi ditutup oleh kepentingan ekonomi semata. Karena tembok yang paling berbahaya bukanlah yang berdiri di tepi jalan, tetapi yang tumbuh dalam kesadaran kita saat kebenaran mulai dianggap tidak penting lagi. (*) Menot Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media di Bali)
Baca juga :
• Babak Baru Jurnalisme Tematik Indonesia
• Di Antara Laba dan Jiwa
• Politik Framing dan Fenomena Menteri Purbaya