“Ekonomi seharusnya bernapas, bukan bernafsu. Karena di antara laba dan jiwa, di situlah seharusnya manusia berdiri.” KITA sering lupa bahwa ekonomi pada dasarnya adalah urusan hidup manusia, bukan sekadar hitung-hitungan angka. Namun di banyak tempat, ekonomi telah berubah menjadi arena perebutan laba dan kekuasaan. Ia kehilangan napasnya sebagai sistem yang seharusnya memberi kehidupan. Kita hidup di tengah ekonomi yang bernafsu, bukan ekonomi yang bernapas. Sebagaimana diingatkan oleh E.F. Schumacher dalam Small Is Beautiful, “Ekonomi modern menjadi tidak manusiawi ketika melupakan bahwa manusia adalah tujuan, bukan alat.” Pernyataan itu terdengar seperti peringatan bagi zaman ini, saat pertumbuhan dipuja tanpa kesadaran akan arah dan nilai. Ekonomi kita tumbuh, tetapi sering kali meninggalkan orang-orang di pinggir jalan pembangunan. Di banyak tempat, kemajuan hanya terlihat dari gedung yang menjulang, bukan dari kesejahteraan yang dirasakan. Ekonomi yang bernapas lahir dari kesadaran. Ia memberi ruang bagi manusia untuk hidup layak, bagi alam untuk tetap lestari, dan bagi kebudayaan untuk tumbuh alami. Sebaliknya, ekonomi yang bernafsu adalah yang menekan manusia, menguras sumber daya, dan mengorbankan nilai. Nafsu ekonomi adalah ketika keuntungan dijadikan ukuran tunggal keberhasilan. Ia menuntut kecepatan tanpa memberi ruang bagi keheningan dan makna. Mahatma Gandhi pernah mengingatkan pentingnya trusteeship, yaitu pandangan bahwa kekayaan hanyalah titipan yang harus digunakan untuk kesejahteraan bersama. Kekayaan, bagi Gandhi, bukan sesuatu yang ditimbun, melainkan dikelola dengan tanggung jawab moral. Gagasan ini menuntun kita untuk menimbang ulang cara memaknai kemajuan. Apakah benar kita sedang tumbuh, atau hanya sedang berlari tanpa arah? Di tingkat yang lebih luas, Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia. Ekonomi yang sehat tidak hanya menciptakan pendapatan, tetapi juga memerdekakan manusia dari ketidakadilan dan ketakutan. Namun hari ini, banyak orang terjebak dalam ekonomi yang menekan. Mereka bekerja tanpa makna, berusaha tanpa arah, dan bertahan tanpa rasa syukur. Mereka sibuk mengejar produktivitas, tetapi kehilangan kedamaian. Soekarno pun telah mengajarkan bahwa ekonomi bangsa ini harus berjiwa gotong royong. Bukan kapitalisme yang menindas, dan bukan pula sosialisme yang mengebiri. Gotong royong adalah jalan tengah, ekonomi yang berjiwa, yang menumbuhkan kesetaraan tanpa membunuh semangat usaha. Di dalamnya hidup semangat saling menolong dan saling menghormati. Ekonomi seperti inilah yang bernapas, karena tumbuh dari rasa kebersamaan, bukan dari kerakusan. Di tengah dunia yang serba cepat, masih banyak pelaku usaha muda dan komunitas lokal yang memilih jalan lain. Mereka membangun bisnis kecil berbasis nilai, menolak jalan pintas yang rakus, dan memilih tumbuh perlahan. Mereka sadar bahwa ekonomi bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang memberi arti. Ekonomi seperti ini mungkin tidak melesat cepat, tetapi tumbuh dengan akar yang dalam. Ia lebih tahan terhadap badai, karena ditopang oleh kejujuran dan kepedulian. Menahan diri dari nafsu ekspansi bukan kelemahan, melainkan kebijaksanaan. Ekonomi yang bernapas justru bertumpu pada keseimbangan: antara untung dan tanggung jawab, antara kerja dan makna, antara ambisi dan jeda. Ia memahami bahwa manusia bukan mesin, dan bumi bukan pabrik tak berujung. Ekonomi yang bernapas memberi ruang bagi manusia untuk beristirahat, berpikir, dan menemukan kembali makna hidupnya. Mungkin yang kita butuhkan hari ini bukan pertumbuhan yang cepat, melainkan napas yang panjang. Sebuah ekonomi yang mampu menuntun manusia untuk hidup lebih jujur, cukup, dan tenang. Ekonomi yang bernapas adalah ekonomi yang menumbuhkan kehidupan. Ia hadir di sawah yang masih hijau, di kedai kopi yang jujur, di media kecil yang tetap setia pada nilai, dan di ruang-ruang komunitas yang saling menopang. Ia tidak berteriak tentang pertumbuhan, tetapi pelan-pelan menghadirkan kesejahteraan yang sejati. Sudah saatnya kita menata ulang arah ekonomi kita. Bukan untuk menolak pertumbuhan, tetapi untuk memastikan bahwa pertumbuhan itu tetap punya jiwa. Sebab, seperti manusia, ekonomi juga perlu bernapas agar tetap hidup. Ekonomi yang kehilangan napasnya hanya akan menjadi tubuh besar tanpa jiwa. Dan tubuh tanpa jiwa tidak akan pernah membawa peradaban ke arah yang lebih baik. Ekonomi seharusnya bernapas, bukan bernafsu. Karena hanya dengan bernapas, ia bisa menumbuhkan kehidupan, bukan sekadar menimbun kekayaan. (*) Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: Media, Consulting, Lifestyle & Community)
Baca juga :
• Babak Baru Jurnalisme Tematik Indonesia
• Menjaga Agar Tembok Tak Dibangun Lagi
• Politik Framing dan Fenomena Menteri Purbaya