Search

Home / Kolom / Opini

Babak Baru Jurnalisme Tematik Indonesia

Nyoman Sukadana   |    09 Oktober 2025    |   20:34:00 WITA

Babak Baru Jurnalisme Tematik Indonesia
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEBUAH pergeseran fundamental tengah berlangsung dalam konstelasi lanskap media di Indonesia. Selama satu dekade terakhir, paradigma yang mendefinisikan kekuatan sebuah media massa perlahan-lahan berevolusi. Apabila dahulu supremasi media diukur dari kecepatan penyebaran berita dan jangkauan pembaca yang masif, kini pendulum bergerak menuju kutub yang berbeda: kedalaman analisis, kepercayaan publik, dan relevansi tematik.

Kemunculan entitas-entitas media dengan fokus yang terkurasi secara spesifik, seperti Katadata yang berfokus pada data ekonomi, Tirto dengan jurnalisme penjelasnya, serta Project Multatuli yang mengusung jurnalisme advokasi, menjadi penanda babak baru dalam ekosistem jurnalisme nasional. Mereka secara sadar memilih untuk tidak ikut serta dalam perlombaan sengit di pasar berita yang riuh rendah. Alih-alih, mereka membangun otoritas di jalur yang lebih senyap, namun dengan disiplin intelektual dan metodologi yang terukur.

Fenomena ini sejatinya merefleksikan transformasi mendasar dalam perilaku masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Publik yang semakin terdidik dan kritis tidak lagi memandang media sebagai corong yang menyiarkan segalanya dalam tempo cepat. Sebaliknya, lahir sebuah kebutuhan kolektif akan panduan yang mampu mengurai kompleksitas sebuah isu, menyajikannya secara jernih, kontekstual, dan berimbang. Media seperti Katadata, Tirto, dan Project Multatuli membuktikan bahwa signifikansi dan pengaruh tidak selamanya berbanding lurus dengan volume produksi atau jumlah klik, melainkan lahir dari kredibilitas yang dirawat dan keteguhan dalam memegang visi editorial.

Menancapkan Otoritas di Relung Spesifik

Kekuatan esensial dari media-media tematik ini terletak pada kejernihan fokus dan konsistensi substansi yang mereka tawarkan. Katadata, misalnya, berhasil menumbuhkan reputasinya sebagai sumber rujukan utama di bidang ekonomi, bisnis, dan kebijakan publik. Dengan mengadopsi pendekatan jurnalisme berbasis data (data-driven journalism) yang diperkaya dengan visualisasi analitik, Katadata menawarkan produk informasi yang melampaui sekadar pemberitaan. Ia menyajikan pemahaman mendalam yang esensial bagi kalangan profesional, teknokrat, akademisi, dan para pengambil kebijakan. Kredibilitas yang dibangun di atas fondasi data yang terverifikasi dan analisis yang tajam menjadi modal sosial utama yang menopang kepercayaan publik.

Di sisi lain, Tirto menempuh lintasan yang berbeda dengan mengusung karakter jurnalisme penjelasan (explanatory journalism). Misi utamanya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang kerap terabaikan oleh media arus utama yang tergesa-gesa: mengapa sebuah peristiwa menjadi penting, apa akar historis dan sosiologis dari sebuah masalah, serta bagaimana dampak jangka panjangnya bagi masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan Tirto untuk menjalin ikatan yang kuat dengan segmen pembaca yang menghargai narasi yang runtut, argumentasi yang logis, dan rasionalitas. Di tengah ekosistem informasi yang kerap kali dangkal dan digerakkan oleh sensasi, kehadiran Tirto berfungsi sebagai penyeimbang intelektual di ruang publik digital.

Sementara itu, Project Multatuli mengambil posisi yang lebih idealistis, bahkan cenderung aktivistik. Media nirlaba ini hadir dengan sebuah manifesto untuk mengembalikan jurnalisme pada khitahnya: sebagai instrumen keberpihakan kepada kemanusiaan dan suara bagi mereka yang tak bersuara. Dengan fokus tajam pada isu-isu keadilan sosial, hak-hak perempuan, kelestarian lingkungan, dan hak asasi manusia, Project Multatuli tidak hanya berbicara kepada akal, tetapi juga nurani pembacanya. Ia secara tegas menolak untuk menjadi bagian dari industri media yang mengukur keberhasilan semata dari metrik klik dan trafik. Keberanian untuk menjaga independensi dan prinsip di tengah tekanan ekonomi yang berat adalah kekuatan moral yang membuatnya disegani, kendati beroperasi dengan sumber daya yang terbatas.

Ketiga entitas ini, dengan caranya masing-masing, mendemonstrasikan bahwa jurnalisme tidak harus selalu berskala raksasa untuk dapat membawa pengaruh. Fokus yang dipertajam dan konsistensi dalam memegang nilai-nilai fundamental terbukti mampu menciptakan suatu bentuk otoritas baru yang diakui oleh publik spesifiknya. Mereka tidak berupaya meniru atau menantang hegemoni arus utama, melainkan membangun jalur-jalur alternatif yang mungkin lebih sunyi, tetapi jauh lebih relevan bagi segmen masyarakat yang dahaga akan penjelasan, bukan sekadar rentetan berita.

Tantangan Struktural dan Dilema Keberlanjutan

Kendati demikian, jalan yang ditempuh media dengan segmentasi khusus ini bukannya tanpa tantangan. Keterbatasan utama yang bersifat inheren terletak pada skala pasar yang secara alamiah lebih sempit. Fokus tematik yang menjadi kekuatan untuk membangun identitas, pada saat yang sama, menjadi batasan bagi jangkauan audiens. Katadata berdialog intens dengan komunitas bisnis dan kebijakan; Tirto menjadi rujukan bagi kalangan akademis dan pemikir sosial; sementara Project Multatuli berinteraksi erat dengan jejaring masyarakat sipil dan aktivis.

Dari perspektif ekonomi, keberlanjutan menjadi isu yang krusial. Katadata menunjukkan resiliensi dengan melakukan diversifikasi model bisnis, merambah ke layanan riset korporat dan penyediaan data berlangganan. Namun bagi Tirto dan terlebih lagi Project Multatuli, napas operasional masih sangat bergantung pada skema kolaborasi, kemitraan strategis, atau dukungan filantropis eksternal. Ketergantungan pada hibah atau proyek jangka pendek dapat menjadi pisau bermata dua: di satu sisi memungkinkan idealisme editorial tetap terjaga dari intervensi pasar, tetapi di sisi lain menciptakan kerentanan terhadap ketidakpastian finansial jangka panjang.

Tantangan berikutnya datang dari kapasitas internal, terutama terkait ritme produksi dan sumber daya manusia. Jurnalisme mendalam yang berbasis riset dan investigasi membutuhkan alokasi waktu, energi, dan keahlian yang tidak sedikit. Proses ini sering kali bertentangan dengan tuntutan publikasi harian dan tekanan algoritma media sosial yang memprioritaskan kecepatan dan frekuensi.

Selain itu, faktor eksternal turut memperberat tantangan. Perilaku konsumsi informasi publik, terutama di kalangan generasi muda, menunjukkan pergeseran signifikan ke arah format konten yang singkat, visual, dan instan. Era ekonomi atensi ini menuntut adaptasi strategis agar media analitis tetap relevan tanpa harus mengorbankan kedalaman substansinya. Meramu riset yang kompleks ke dalam format naratif yang lebih ringan, seperti infografik interaktif, video penjelasan, atau siniar (podcast), menjadi imperatif strategis untuk menjangkau audiens baru.

Peluang di Tengah Krisis Kepercayaan

Di tengah berbagai keterbatasan tersebut, media dengan pendekatan tematik justru memiliki peluang strategis yang besar di masa depan. Kejenuhan publik terhadap model pemberitaan yang cepat, sensasional, dan kerap kali partisan telah menciptakan ruang kosong yang signifikan. Ruang ini dapat diisi oleh jurnalisme yang menawarkan kredibilitas, ketenangan, dan analisis yang berimbang. Di tengah tsunami disinformasi dan polarisasi politik yang tajam, kebutuhan masyarakat akan trusted sources kian meningkat. Katadata, Tirto, dan Project Multatuli, dengan rekam jejaknya, memiliki modal moral dan intelektual untuk memosisikan diri sebagai oase di tengah gurun informasi.

Peluang berikutnya terletak pada penguatan model kolaborasi lintas sektor. Katadata telah membuktikan bahwa keahlian dalam mengolah data dapat menjadi produk turunan yang bernilai ekonomi. Tirto berpotensi memperluas perannya dalam ranah pendidikan publik dan riset sosial melalui kerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian. Sementara Project Multatuli dapat memperkuat jejaringnya dengan organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal untuk mengamplifikasi isu-isu dari akar rumput.

Namun, peluang tersebut hanya akan termanifestasi jika media mampu mengelola transformasi digital secara adaptif. Konten berbobot harus diiringi inovasi dalam format penyajian dan strategi distribusi. Integrasi yang efektif antara teks mendalam, multimedia, visualisasi data interaktif, dan pemanfaatan platform digital menjadi kunci agar substansi dapat menjangkau audiens yang lebih luas.

Pada akhirnya, imperatif bagi media tematik adalah merumuskan model keberlanjutan finansial yang lebih tangguh dan beragam. Alternatif di luar model periklanan konvensional, seperti skema keanggotaan (membership), donasi pembaca, layanan riset terkustomisasi, hingga kemitraan tematik dengan institusi non-komersial, perlu terus dieksplorasi. Model ekonomi yang bertumpu pada kepercayaan dan kolaborasi komunitas inilah yang akan menjadi penentu daya tahan mereka di masa depan.

Katadata, Tirto, dan Project Multatuli telah menghadirkan pelajaran berharga bagi ekosistem media Indonesia: bahwa kedalaman, konteks, dan integritas masih memiliki tempat yang terhormat di tengah derasnya arus informasi. Mereka adalah pengingat bahwa jurnalisme pada hakikatnya bukan semata entitas bisnis, melainkan pilar peradaban publik yang bertugas mencerahkan melalui pengetahuan dan kejujuran.

Ketika banyak media lain sibuk mengejar atensi sesaat, mereka memilih jalan sunyi untuk membangun makna. Masa depan jurnalisme Indonesia tampaknya tidak akan ditentukan oleh siapa yang berlari paling kencang, melainkan oleh siapa yang paling konsisten memegang amanah kepercayaan publik. Dan kepercayaan itu, seperti yang telah mereka tunjukkan, hanya lahir dari disiplin, konsistensi, dan keberanian untuk senantiasa berpihak pada kebenaran. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: Media, Consulting, Lifestyle & Community) 

Baca juga :
  • Di Antara Laba dan Jiwa
  • Menjaga Agar Tembok Tak Dibangun Lagi
  • Politik Framing dan Fenomena Menteri Purbaya