Nyoman Sukadana |
25 Oktober 2025 | 14:42:00 WITA
PANGGUNG kekuasaan hari ini menjadikan kita seperti sedang menonton film yang sama berulang-ulang. Hampir semua politisi bicara dengan nada aman, serba terukur, dan hasil polesan tim komunikasi. Gaya, yang seharusnya menjadi cap otentik seorang pemimpin, kini jadi barang langka. Dulu, tatapan mata, cara diam, hingga ritme bicara adalah jati diri. Sekarang? Semuanya klise. Tapi, tengah hiruk pikuk keseragaman itu, ada satu figur yang berani tampil beda. Sosok ini bukan pemburu sorotan. Ketika diserang bertubi-tubi, dia tidak balas teriak. Saat dituding, dia memilih bungkam. Dia membiarkan serangan datang seperti seorang petinju legendaris yang bersandar di tali ring, menunggu lawan kelelahan. Dia menangkisnya bukan dengan pukulan balik, tapi dengan senyum tipis. Inilah yang kita sebut Clay Style, yang diambil dari nama lahir Muhammad Ali, Cassius Marcellus Clay Jr. Gaya ini bukan berarti pasif. Justru, ini adalah strategi pertahanan tertinggi. Ingat taktik rope-a-dope Ali? Membiarkan lawan menghabiskan energi sendiri. Setiap hujatan yang datang justru menjadi latihan daya tahan, bukan ancaman yang harus ditakuti. Orang luar mungkin melihat dia sedang terpojok, padahal dia sedang menghitung napas. Dia tahu betul, setiap badai pasti reda, setiap kegaduhan akan menemukan senyapnya. Dan ketika momen itu tiba, satu kalimatnya yang tenang jauh lebih berbobot daripada seribu teriakan. Dalam politik, waktu adalah segalanya. Melawan tidak selalu harus membalas. Terkadang, membiarkan lawan lelah adalah cara terhalus untuk menang. Filosofinya jelas: sejalan dengan ajaran Sun Tzu, "Kemenangan tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur." Clay Style adalah perwujudan nyata dari prinsip itu. Ini bukan soal balas dendam, tapi soal mengendalikan medan perang tanpa kehilangan keseimbangan diri. Dia tidak terpancing provokasi murahan, sebab dia paham, reaksi tak perlu hanya memberi bahan bakar gratis kepada lawan. Dia memilih diam, membiarkan waktu yang membuktikan. Momentumnya memang jarang, tapi setiap langkahnya presisi. Pukulannya tidak sering, tapi selalu efektif. Politik baginya bukan adu otot atau adu bacot, melainkan adu ritme. Dan yang paling sabar membaca ritme, dialah yang akan bertahan paling lama. Antitesis: Gaya Koboi yang Menabrak Etiket Namun, panggung lain, kita punya Gaya Koboi. Ambil contoh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Purbaya Yudhi Sadewa. Gaya ini bertolak belakang 180 derajat dari Clay Style. Dia bicara cepat, lugas, tanpa filter. Kadang menabrak etiket, kadang bikin gaduh, tapi publik tahu satu hal: dia jujur apa adanya. Cowboy Style lahir dari spontanitas dan keberanian, antitesis dari kesabaran Clay. Dia memotong birokrasi, melawan kelambanan, dan menyampaikan isi pikiran meski berisiko besar. Dalam sistem yang seringkali terlalu kaku, suara koboi seperti ini menghadirkan kejutan yang menyegarkan. Sun Tzu juga mengingatkan: "Keberanian tanpa perhitungan adalah kebodohan, tetapi perhitungan tanpa keberanian adalah kematian perlahan." Di sinilah kedua gaya ini saling melengkapi. Politik butuh kesabaran ala Clay untuk bertahan, tapi juga nyali ala Koboi untuk mendobrak. Keaslian adalah Mata Uang Paling Berharga Clay Style dan Cowboy Style terlihat bertentangan, tapi akarnya sama: Keaslian. Clay mengajarkan ketenangan saat badai, sementara Koboi mengingatkan bahwa diam terlalu lama bisa menghilangkan arah. Yang satu bermain dengan waktu, yang lain bermain dengan momentum. Dunia politik penuh pencitraan, keaslian adalah mata uang paling berharga. Clay Style adalah pilihan mereka yang tahu bahwa ketenangan adalah senjata. Dia bertarung tanpa perlu terlihat berkelahi. Politik kita hari ini terlalu terobsesi pada kecepatan, tapi lupa soal daya tahan. Semua ingin cepat viral, cepat jawab, cepat muncul. Muhammad Ali pernah bilang, “Aku tidak menghitung pukulan, aku menghitung saat yang tepat untuk membuatnya berarti.” Dalam politik pun begitu. Mereka yang benar-benar mengerti kekuasaan adalah yang tahu kapan menahan diri dan kapan berbicara. Clay Style bukan cuma strategi; ia adalah kebijaksanaan. Mengajarkan kita bahwa ketenangan bisa lebih menakutkan daripada teriakan, dan kesabaran lebih tajam dari seribu serangan. Akhirnya, sebagaimana Ali menari di ring sambil berbisik, “Float like a butterfly, sting like a bee,” politik kita butuh lebih banyak pemimpin yang tahu kapan harus menari, kapan harus memukul, dan kapan cukup berdiri tegak tanpa kehilangan dirinya sendiri. (*) Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: Media, Consulting, Lifestyle & Community)
Baca juga :
• Antara Pengadilan Opini dan Keadilan Hukum: Catatan atas Kasus Timothy Anugerah
• Oase Jurnalisme Berbayar
• Babak Baru Jurnalisme Tematik Indonesia