Podiumnews.com / Kolom / Opini

Perlunya Kode Etik bagi Konten Kreator Bali

Oleh Nyoman Sukadana • 28 Oktober 2025 • 23:49:00 WITA

Perlunya Kode Etik bagi Konten Kreator Bali
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

KEBEBASAN berekspresi di ruang digital telah melahirkan gelombang baru kreativitas di Bali. Siapa pun kini bisa menjadi penyampai pesan, pengulas tempat wisata, penggerak opini, bahkan penentu citra budaya. Namun di tengah derasnya arus itu, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana kebebasan ini disertai tanggung jawab? Di sinilah pentingnya kehadiran kode etik bagi para konten kreator, agar dunia digital tidak kehilangan arah moralnya.

Bali bukan sekadar destinasi wisata yang indah. Ia adalah rumah bagi sistem nilai, adat, dan kesadaran spiritual yang halus. Setiap karya yang lahir dari tanah ini membawa konsekuensi budaya. Ketika seorang kreator menampilkan ritual tanpa rasa hormat, menjadikan tempat suci sebagai latar hiburan, atau menyebarkan informasi tanpa verifikasi, yang tercoreng bukan hanya reputasi pribadi, tetapi juga martabat masyarakat Bali. Karena itu, kode etik bukan beban, melainkan pelindung agar kreativitas tetap sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.

Prinsip pertama yang paling penting adalah integritas dan kebenaran. Kreator wajib menyajikan informasi yang benar, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kecepatan dalam mengunggah tidak boleh mengorbankan kebenaran. Dalam dunia digital, satu unggahan keliru bisa menyebar lebih cepat dari klarifikasi. Di sinilah peran moral kreator diuji. Konten yang lahir dari niat baik dan riset yang cermat akan membangun kepercayaan publik jauh lebih kuat daripada konten sensasional yang hanya mengejar klik.

Kedua, prinsip anti kebencian dan anti SARA adalah fondasi etika publik yang harus dijaga bersama. Kreator di Bali memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah perpecahan sosial. Ujaran kebencian, rasisme, dan diskriminasi tidak boleh mendapat ruang dalam karya kreatif, betapa pun halusnya disamarkan dalam bentuk humor atau opini. Dunia digital Bali harus menjadi ruang yang menumbuhkan rasa saling menghormati, bukan menyalakan bara kebencian.

Aspek lain yang kerap dilupakan adalah penghormatan terhadap martabat dan privasi individu. Dalam kejaran konten viral, sering kali manusia dijadikan objek hiburan. Padahal di balik setiap wajah dan peristiwa, ada kehidupan yang harus dihargai. Kreator perlu memastikan bahwa kontennya tidak merugikan, mempermalukan, atau mengeksploitasi orang lain demi popularitas. Menghormati martabat sesama bukan hanya etika profesional, tetapi juga cermin kematangan spiritual.

Dari sisi profesionalisme, penghormatan terhadap Hak Kekayaan Intelektual adalah ukuran kedewasaan kreator. Mengambil karya orang lain tanpa izin bukanlah bentuk apresiasi, melainkan pelanggaran. Dunia kreatif akan berkembang sehat hanya jika para pelakunya saling menghormati hak cipta dan hasil kerja orang lain. Kreativitas sejati tidak lahir dari peniruan, melainkan dari kemampuan memberi makna baru dengan cara yang orisinal dan jujur.

Di era ekonomi digital, transparansi dalam konten berbayar atau endorsement juga menjadi isu penting. Audiens berhak tahu kapan sebuah konten bersifat promosi. Menyembunyikan fakta bahwa sebuah ulasan adalah bagian dari kerja komersial berarti menipu kepercayaan publik. Kreator yang terbuka justru akan memperoleh kredibilitas yang lebih kuat, karena kejujuran adalah mata uang yang paling berharga di dunia maya.

Kreator juga wajib mematuhi hukum yang berlaku. Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan tanpa batas. Ada norma, ada hukum, dan ada tanggung jawab publik yang menyertainya. Mengerti batas antara kritik dan fitnah, antara ekspresi dan provokasi, adalah bagian dari literasi etika yang harus dimiliki setiap pelaku konten.

Namun, di atas semua itu, ada dimensi yang khas bagi Bali: penghormatan terhadap adat, budaya, dan kearifan lokal. Kreator harus memahami bahwa setiap simbol, upacara, dan tempat suci memiliki makna spiritual yang dalam. Menyentuhnya dengan cara yang tidak pantas berarti menodai sesuatu yang lebih besar dari sekadar estetika visual. Konten yang lahir di Bali semestinya mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Nilai ini bukan aturan formal, melainkan filosofi hidup yang menjadi napas kebudayaan Bali.

Selain menghormati adat, kreator juga diharapkan menjadi duta digital yang mempromosikan pariwisata secara positif dan otentik. Artinya, bukan sekadar menampilkan keindahan Bali dari permukaannya, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dan keseimbangan yang menjadi inti dari kehidupan masyarakatnya. Bali tidak membutuhkan konten glamor yang palsu, melainkan narasi jujur yang membuat dunia memahami bahwa pulau ini hidup karena kebijaksanaan, bukan hanya karena keindahan.

Kode etik bagi kreator sejatinya adalah kesepakatan moral agar ruang digital menjadi tempat yang lebih beradab. Ia bukan alat pembatas, tetapi panduan arah. Di tengah arus informasi yang deras, kode etik berfungsi sebagai jangkar agar para kreator tidak terombang-ambing oleh algoritma dan ego. Dunia digital yang sehat hanya mungkin terwujud jika kebebasan berjalan beriringan dengan tanggung jawab.

Menjadi kreator di Bali berarti menjadi penjaga cerita. Cerita tentang budaya, tentang harmoni, tentang manusia yang menghormati alam dan sesamanya. Karena itu, setiap unggahan seharusnya membawa kesadaran bahwa ia tidak hanya berbicara pada publik global, tetapi juga pada jiwa-jiwa yang menjaga keseimbangan pulau ini sejak lama.

Etika bukan sekadar aturan yang dibacakan di awal kegiatan, melainkan laku hidup yang harus dihayati. Bila setiap kreator memahami hal itu, maka dunia digital Bali akan menjadi ruang yang tidak hanya kreatif, tetapi juga penuh welas asih, jujur, dan mencerdaskan. Kode etik bukanlah akhir dari kebebasan, melainkan awal dari tanggung jawab yang lebih luhur. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: Media, Consulting, Lifestyle & Community)