Luka, Penebusan, dan Lagu
FILM I Can Only Imagine, yang disutradarai oleh The Erwin Brothers dan dirilis pada 2018, bukanlah sekadar sebuah biografi musisi; ia adalah epik tentang kebangkitan spiritual yang lahir dari kehancuran emosional. Kisah nyata ini, yang berlatar di Greenville, Texas, AS, membentang dari masa kecil yang gelap Bart Millard pada awal 1980-an hingga rekonsiliasi emosionalnya di akhir 1990-an.
Inti dari kisah ini terletak pada konflik yang mencekik antara tokoh utama, Bart Millard (diperankan oleh J. Michael Finley), dengan ayahnya, Arthur Millard (yang dibawakan secara kuat oleh aktor senior Dennis Quaid). Konflik mereka melukiskan pergulatan universal tentang bagaimana kita mengatasi rasa sakit yang ditimbulkan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung kita.
Sejak awal, kita diperlihatkan masa kecil Bart yang gelap, diselimuti teror yang senyap. Arthur, yang frustrasi dan tenggelam dalam masalahnya sendiri, menjelma menjadi sosok yang kasar. Rumah seharusnya menjadi tempat berlindung, namun bagi Bart, itu adalah medan ranjau emosional.
Setiap kata keras, setiap kekecewaan yang dipancarkan Arthur, tertanam dalam diri Bart sebagai kebencian yang semakin lama semakin tebal. Kebencian ini bukan hanya respons terhadap kekerasan fisik, melainkan juga rasa sakit karena mimpi-mimpinya yang selalu diremehkan. Musik adalah sayap Bart, tetapi Arthur terus mematahkannya.
Inilah inti dari trauma yang tak terhapuskan, seolah mengamini ucapan William Faulkner, "Masa lalu tidak pernah mati. Ia bahkan belum berlalu."
Puncak dari rasa sakit itu adalah ketika Bart memutuskan melarikan diri, secara harfiah dan metaforis, dari rumah dan ayahnya. Kepergian itu terasa seperti pelarian yang sah, sebuah upaya untuk membangun identitas di luar bayang-bayang trauma.
Namun, seperti yang sering terjadi, jarak fisik tidak lantas menyembuhkan luka batin. Bart membawa kebenciannya ke mana pun ia pergi, menjadikannya perisai, bahkan terkadang, penjara bagi dirinya sendiri. Ia mungkin telah menemukan jalannya di dunia musik, tetapi jiwanya masih terbelenggu oleh masa lalu.
Beban dendam yang dipikul Bart terasa mencekik. Ia menyadari bahwa kebencian adalah ibarat meminum racun dan berharap orang lain yang mati.
Titik balik kisah ini terjadi ketika Bart dipanggil kembali ke rumah karena penyakit kanker ayahnya. Ia siap menghadapi Arthur yang lama, pria kejam yang ia benci. Namun, ia justru dihadapkan pada sosok yang sama sekali baru: Arthur yang telah bertobat, yang menemukan iman di tengah penyakitnya, dan yang berusaha memperbaiki hidupnya.
Reaksi pertama Bart adalah keraguan dan amarah. "Ini pasti akting," benaknya. Bagaimana mungkin seorang pria yang menghancurkan hidupnya bisa berubah begitu drastis?
Kecurigaan Bart adalah cerminan dari perspektifnya yang terluka. Ia melihat ayahnya, bukan seperti Arthur saat ini, tetapi seperti Arthur yang ia ingat, mengacu pada pemikiran Anaïs Nin, "Kita tidak melihat sesuatu sebagaimana adanya, kita melihat sesuatu sebagaimana kita adanya."
Di sinilah letak pesan terdalam film ini. Perubahan Arthur yang radikal memaksa Bart untuk menghadapi perannya sendiri dalam konflik tersebut. Selama ini, Bart hanya melihat Arthur sebagai penyiksa. Kini, ia harus melihat Arthur sebagai seorang manusia yang juga hancur, yang berjuang, dan yang akhirnya menemukan penebusan.
Proses memaafkan Arthur bukanlah tentang menghapus rasa sakit di masa lalu; itu adalah tentang Bart melepaskan kekuasaan yang dimiliki rasa sakit itu atas masa depannya.
Pengampunan yang diberikan Bart, meskipun menyakitkan dan sulit, adalah tindakan yang membebaskan dirinya sendiri. Ketika Bart akhirnya mampu memeluk ayahnya dan menerima permintaan maafnya, ia tidak hanya membebaskan Arthur dari rasa bersalahnya, tetapi juga membebaskan dirinya dari beban kebencian yang selama ini ia pikul.
Proses ini, sebagaimana dikatakan teolog Lewis B. Smedes, adalah saat Bart menyadari bahwa "Memaafkan adalah membebaskan seorang tahanan dan menemukan bahwa tahanan itu adalah dirimu sendiri."
Dari rekonsiliasi yang singkat namun tulus itulah lahir lagu "I Can Only Imagine," sebuah komposisi yang tidak hanya merayakan iman Arthur tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa dari luka yang paling dalam, dapat lahir keindahan dan harapan terbesar.
Pada akhirnya, I Can Only Imagine mengajarkan kita bahwa memaafkan adalah sebuah anugerah, bukan untuk orang yang menyakiti kita, melainkan untuk diri kita sendiri. Itu adalah jembatan yang mengubah jurang kebencian menjadi jalan menuju kedamaian, dan luka hati menjadi sebuah lagu yang menginspirasi jutaan orang. (*)
Menot Sukadana