Ketika Hidup Menjadi Sekolah Tanpa Tanda Tamat
KONSEP "Manusia Pembelajar" (The Learner) bukanlah sekadar label bagi mereka yang rajin mengikuti kelas. Lebih dari itu, ia adalah sebuah mindset, sebuah sikap mental yang memandang kehidupan sebagai ruang kelas tak berberkesudahan. Setiap pengalaman, baik sukses maupun gagal, dianggap sebagai kurikulum yang harus dikuasai, sebab di sekolah bernama kehidupan ini, tidak ada tanda tamat yang final.
Di tengah turbulensi perubahan global yang serba digital dan cepat, kemampuan untuk menjadi pembelajar seumur hidup telah bertransformasi dari sekadar pilihan menjadi sebuah keharusan demi kelangsungan hidup. Keterampilan ini, yang oleh Andrias Harefa diletakkan sebagai tugas dasar manusia, adalah kunci utama adaptasi di masa depan. Kita adalah murid abadi yang harus selalu siap menghadapi ujian tak terduga.
Pola Pikir Bertumbuh
Inti dari Manusia Pembelajar adalah agilitas atau kelincahan dalam belajar (learning agility). Ini adalah kesediaan dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman, serta menerapkan pelajaran tersebut dalam situasi yang baru atau tidak terduga.
Agilitas ini didukung oleh fondasi psikologis yang kuat, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh psikolog Stanford, Dr. Carol Dweck, melalui karyanya tentang Pola Pikir Bertumbuh (Growth Mindset). Dweck membedakan individu yang meyakini kecerdasan adalah bakat statis (Fixed Mindset) dengan mereka yang percaya bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui dedikasi dan strategi (Growth Mindset).
Manusia Pembelajar adalah manifestasi nyata dari Growth Mindset. Mereka tidak takut menghadapi tantangan atau kritik. Mereka melihat kesulitan dan kegagalan bukan sebagai bukti keterbatasan bawaan, melainkan sebagai data, umpan balik berharga yang menunjukkan di mana mereka perlu meningkatkan upaya. Oleh karena itu, dalam sekolah kehidupan, kegagalan adalah nilai yang harus dievaluasi, bukan alasan untuk putus sekolah (drop out) atau menghentikan proses pembelajaran.
Kekuatan Refleksi Dewey
Proses pembelajaran sejati tidak akan lengkap tanpa refleksi. Filsuf dan ahli pendidikan John Dewey menekankan bahwa pengalaman saja tidak cukup. Pengalaman yang direfleksikan adalah kunci menuju pertumbuhan.
Dewey mendefinisikan pembelajaran sebagai sebuah proses aktif yang melibatkan pengamatan, perumusan hipotesis, pengujian, dan yang paling penting, refleksi atas hasil yang dicapai.
Seorang Manusia Pembelajar secara teratur meluangkan waktu untuk bertanya: "Apa yang saya pelajari dari kejadian ini? Apa yang berjalan dengan baik? Apa yang harus saya lakukan berbeda lain kali?" Proses refleksi ini mengubah pengalaman mentah menjadi kearifan praktis. Tanpa refleksi, pelajaran di sekolah kehidupan hanya akan berulang tanpa menghasilkan peningkatan kualitas.
Dari Murid ke Guru
Dalam pandangan Andrias Harefa, tugas menjadi Manusia Pembelajar hanyalah tahap pertama, yang kemudian akan berevolusi. Tahap ini akan dilanjutkan menjadi Pemimpin (The Leader) dan terakhir menjadi Guru (The Teacher).
Evolusi ini menunjukkan bahwa penguasaan diri melalui pembelajaran pada akhirnya diarahkan pada kontribusi sosial. Seseorang yang telah mencapai kemampuan adaptasi tinggi memiliki kapasitas untuk memimpin, bukan dengan diktat, melainkan dengan teladan.
Pada tingkatan tertinggi, sebagai Guru, individu tersebut mewujudkan peran tertinggi. Ia memberdayakan orang lain untuk memulai perjalanan Pembelajar mereka sendiri, mewariskan semangat dan keterampilan adaptasi. Ini adalah puncak pencapaian kurikulum pribadi.
Antidote Future Shock
Urgensi menjadi Manusia Pembelajar juga diperkuat oleh perubahan struktural dalam masyarakat. Sosiolog masa depan, Alvin Toffler, telah lama memperingatkan tentang Future Shock, tekanan dan disorientasi yang ditimbulkan oleh perubahan sosial dan teknologi yang terlalu cepat.
Toffler berpendapat bahwa orang yang buta huruf di masa depan bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melepaskan, dan belajar kembali (learn, unlearn, and relearn).
Dalam konteks ini, Manusia Pembelajar adalah penawar (antidote) terhadap Future Shock. Mereka mampu "melepaskan" pengetahuan lama yang sudah usang (unlearn) dan dengan cepat menyerap keterampilan baru (relearn) yang relevan dengan realitas yang terus bergeser.
Cermin Kearifan Lokal
Tuntutan untuk menjadi pembelajar abadi sesungguhnya telah berakar kuat dalam kebudayaan nusantara, khususnya di Bali. Konsep Manusia Pembelajar ini senafas dengan dua kearifan lokal yang berfungsi sebagai kompas etika:
Pertama, "Ede Ngaden Awak Bise, Depang Anake Ngadanin" (Jangan mengira diri sudah pintar, biarkan orang lain yang menilai). Ungkapan ini adalah benteng pertahanan paling kokoh terhadap kesombongan intelektual (Fixed Mindset). Ia menegaskan bahwa nilai sejati seseorang lahir dari karya dan perilaku yang diakui publik, bukan dari klaim pribadi. Sikap rendah hati ini membuka pintu bagi kritik dan pembelajaran tanpa batas, selaras dengan Pola Pikir Bertumbuh ala Carol Dweck.
Kedua, "Nandurin Karang Awak" (Menanam/mengolah pekarangan diri). Filosofi yang dicetuskan oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Sanur ini adalah metafora agraris yang sangat mendalam. "Pekarangan diri" adalah jiwa, pikiran, dan potensi kita. Nasihat ini mewajibkan individu untuk fokus pada investasi internal, terus menanami diri dengan ilmu dan karakter. Ini adalah realisasi praktis dari tugas primer Manusia Pembelajar (Harefa), bahwa sebelum kita bisa memimpin atau menjadi guru, kita harus memastikan lahan diri kita subur dan produktif.
Sikap Abadi Seorang Murid
Menjadi Manusia Pembelajar adalah sebuah pilihan eksistensial dan strategi bertahan hidup. Ini adalah janji untuk tidak pernah menjadi versi statis dari diri sendiri, selaras dengan judul bahwa sekolah kehidupan tidak pernah berakhir.
Dengan mengadopsi Pola Pikir Bertumbuh ala Carol Dweck, mempraktikkan refleksi mendalam sebagaimana diajarkan oleh John Dewey, memahami urgensi relearning di era perubahan Toffler, dan menghayati kearifan lokal seperti Nandurin Karang Awak, kita memenuhi tugas pokok sebagai manusia yang adaptif.
Keterampilan tertinggi di sekolah tanpa tanda tamat ini bukanlah apa yang kita ketahui hari ini, melainkan seberapa cepat dan efektif kita bisa belajar untuk hari esok. (*)
Menot Sukadana