Sunyi Putri Kolok: Ramalan Tanah Leluhur
PADA 2 November 1992, di Studio VII TVRI Pusat Jakarta, sinetron lepas berjudul "Aksara Tanpa Kata" memborong enam Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia (FSI). Kemenangan ini bukan sekadar pencapaian artistik: mengukuhkan Irwinsyah sebagai Sutradara Terbaik dan Neno Warisman sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, melainkan pengakuan atas keberanian sebuah karya seni yang menelanjangi fenomena sosial yang menyakitkan di balik gemerlap pariwisata Bali pada era Orde Baru.
Tiga dekade berselang, sinetron yang ditulis oleh Garin Nugroho ini harus dibaca ulang. Ia bukan lagi drama historis, melainkan sebuah ramalan sosiologis yang menyuarakan tragedi yang kini kian memuncak: krisis identitas dan tanah yang dipicu oleh kapitalisme pariwisata yang tak terkendali.
Tragedi Tanah
"Aksara Tanpa Kata" menempatkan konflik utamanya di desa-desa Bali yang tengah dihimpit desakan investor dan broker tanah. Sinetron ini menggambarkan perjuangan seorang Ibu (diperankan Renny Jayusman, yang meraih Piala Vidia Pemeran Pembantu Wanita Terbaik) yang kukuh mempertahankan tanah warisan leluhur. Ia percaya, tanah adalah aksara abadi yang tidak boleh dikata-katai dengan harga. Jajaran pemainnya mencakup nama-nama yang kemudian menjadi figur publik, termasuk Ni Putu Putri Suastini, yang kini dikenal luas sebagai istri Gubernur Bali, Wayan Koster.
Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, Bali berada di bawah tekanan masif industrialisasi pariwisata. Dalih pembangunan nasional dan peningkatan devisa menjadi pembenaran untuk melancarkan pencaplokan lahan secara besar-besaran. Wilayah yang menjadi sasaran utama adalah lahan subur di Bali Selatan, terutama di koridor Kuta, Legian, dan Seminyak, yang dengan cepat diubah dari desa agraris menjadi zona komersial tak terkendali.
Contoh paling kentara adalah konversi ribuan hektar tanah sawah produktif menjadi fasilitas pariwisata eksklusif dan lapangan golf mewah, yang secara langsung mengancam sistem irigasi Subak, simbol utama budaya agraria Bali. Inilah latar belakang nyata dari konflik agraria dan moral yang diangkat Garin Nugroho.
Namun, perlawanannya dipatahkan oleh tragedi yang lebih personal. menantunya yang serakah (seorang representasi agen lokal kapitalis) mengancam menceraikan putrinya yang bisu (Neno Warisman) jika tanah itu tidak dijual. Sang Ibu terpaksa mengalah. Tanah dijual, tetapi janji kemakmuran hanyalah ilusi.
Di adegan penutup yang pedih, sang putri yang bisu ditinggalkan suaminya di bandara, dengan harta duniawi hasil penjualan tanah yang kini terasa hampa.
Karya yang turut diapresiasi untuk Penata Musik Terbaik (Igor Tamerlan) dan Penata Suara Terbaik (Adi Kurniadi/Edi Junaidi) ini menunjukkan keberanian luar biasa media TVRI pada masa itu. Ia menyentuh titik paling sensitif, betapa mudahnya nilai luhur dikorbankan demi hasrat materialisme yang dangkal.
Bali Status Periferi
Untuk memahami mengapa konflik yang disajikan dalam "Aksara Tanpa Kata" terjadi, kita dapat menggunakan kerangka Teori Ketergantungan (Dependency Theory) yang dikembangkan oleh tokoh seperti Andre Gunder Frank. Bali, dalam konteks pariwisata global, berfungsi sebagai wilayah Periferi dalam sistem ekonomi dunia. Pembangunan di Bali didorong oleh permintaan dan modal dari negara-negara Pusat (wisatawan dan investor asing), bukan oleh dorongan organik masyarakat lokal.
Tragedi dalam sinetron ini adalah manifestasi nyata dari ketergantungan tersebut. Pertama, terjadi Komodifikasi Sumber Daya di mana tanah, yang tadinya sakral dan memiliki nilai guna (sumber kehidupan) bagi masyarakat lokal, dikonversi menjadi komoditas dengan nilai tukar (uang) untuk memenuhi kebutuhan Pusat.
Kedua, terbentuknya Aliansi Agen Lokal, menantu yang serakah dalam cerita adalah representasi sempurna dari agen lokal yang terkorupsi oleh modal Pusat. Ia rela menghancurkan ikatan darah (mengancam menceraikan istrinya yang bisu) demi meraih keuntungan finansial yang instan, sehingga ia berfungsi sebagai mata rantai yang menghubungkan hasrat kapital global dengan korban lokal.
Sinetron ini secara jernih menunjukkan bahwa kekayaan yang dihasilkan dari pariwisata (sebuah proyek modernisasi) tidak didistribusikan secara adil. Sebagian besar keuntungan mengalir keluar, meninggalkan masyarakat Periferi (seperti sang putri yang bisu) dengan alienasi total, yaitu kehilangan tanah (akar) dan kehilangan keluarga (kasih sayang).
Ramalan Kian Nyata
Yang membuat "Aksara Tanpa Kata" begitu relevan adalah bahwa isu yang diangkatnya kian masif hari ini. Tanah adat dan lahan pertanian terus beralih fungsi menjadi vila, hotel, dan akomodasi pariwisata, memicu krisis yang oleh akademisi lokal disebut sebagai jerat "ekonomi kapitalis."
Prof Dr Wayan Windia (Guru Besar Universitas Udayana) telah berulang kali mengingatkan bahaya ini. Menurutnya, fokus tunggal pada sektor pariwisata berpotensi menjebak Bali dalam ekonomi kapitalis yang merusak; di mana sektor yang kaya semakin kaya dan yang miskin terus terpinggirkan.
Alih fungsi lahan sawah dan kehancuran organisasi subak (sistem irigasi tradisional) menjadi ancaman nyata yang sudah diprediksi sejak lama.
Akademisi lain, seperti I Made Pria Dharsana, menyebut fenomena ini secara lugas: "Akibat struktur kekuasaan ruang yang timpang, penguasaan lahan oleh korporasi besar telah menciptakan ‘enklave ekonomi’ yang tidak berpihak pada masyarakat lokal."
Krisis ini melahirkan tragedi sosial yang nyata: melambungnya harga properti, kesulitan warga lokal memiliki rumah di tanah sendiri, hingga fenomena "orang Bali menjadi tamu di tanahnya sendiri."
Situasi ini diperparah oleh sikap pragmatis dan permisif dari sebagian krama (warga) Bali sendiri, yang dengan mudah menjual tanah demi keuntungan material jangka pendek, sebuah sikap yang di masa sinetron dulu diwakili oleh menantu yang berkhianat.
Panggilan Jati Diri
"Aksara Tanpa Kata" adalah sebuah panggilan. Ia menuntut kita untuk meninjau kembali filosofi pembangunan Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan) yang ironisnya menjadi branding utama pariwisata Bali.
Kisah sang putri yang bisu, yang ditinggalkan sendirian di bandara, adalah metafora abadi. Ia menyuarakan bahwa ketika tanah leluhur, yang merupakan sumber kehidupan, budaya, dan spiritualitas, dilepaskan hanya demi uang, maka yang tersisa adalah kehampaan, keterasingan, dan bisunya suara perlawanan.
Kini, tugas krama Bali, pemerintah daerah, dan juga para pelaku seni dan akademisi adalah memastikan bahwa pembangunan ekonomi harus berhenti menjadi pisau bermata dua. Aksara Bali yang sesungguhnya, yakni keterikatan pada tanah, adat, dan komunitas, harus dilindungi secara tegas oleh regulasi yang tidak hanya menjadi "macan kertas". Hanya dengan menegakkan kembali nilai luhur di atas nilai tukar, Bali dapat kembali menjadi rumah, bukan sekadar komoditas bisu di mata dunia. (*)
Menot Sukadana