Podiumnews.com / Horison / Humaniora

Soeharto dan Luka yang Tertinggal

Oleh Nyoman Sukadana • 11 November 2025 • 03:43:00 WITA

Soeharto dan Luka yang Tertinggal
Ilustrasi Soeharto berdiri dalam bayang sejarah, menandai perdebatan publik tentang gelar Pahlawan Nasional dan ingatan kelam yang masih tertinggal. (podiumnews)

GELOMBANG perdebatan membubung begitu negara resmi menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan itu jatuh seperti batu ke permukaan danau yang selama bertahun-tahun dijaga tetap teduh. Riaknya segera merambat ke ruang kelas kampus, ke forum diskusi, ke ruang keluarga yang hangat, hingga ke benak para penyintas yang memanggul ingatan yang belum pernah benar-benar pulih. Soeharto kini berdiri dalam galeri para pahlawan, tetapi bayangannya tidak ikut berubah warna.

Sebagian warga mengenang sosoknya sebagai Bapak Pembangunan yang menata jalan, mengairi sawah, menjaga harga, serta menstabilkan ekonomi pada masa yang serba goyah. Sebagian lain membawa ingatan tentang Pulau Buru, Tanjung Priok, Talangsari, DOM Aceh, DOM Papua, Kudatuli, Trisakti, hingga nama nama aktivis yang tak pernah kembali. Dua wajah itu kini dipaksa berdampingan, saling menguji bobot moral satu sama lain, di bawah satu gelar yang tak pernah sepenuhnya steril.

Narasi yang Ditarik Ulang

Michel Foucault pernah mengingatkan bahwa kekuasaan menentukan bukan hanya apa yang terjadi, tetapi juga apa yang boleh diingat. Ketika negara menyematkan gelar pahlawan pada sosok sekompleks Soeharto, negara sedang menata ulang lanskap narasi. Lembaran mana yang ditonjolkan, dan lembaran mana yang dibiarkan pelan-pelan memudar, menjadi bagian dari keputusan politik yang dibungkus sebagai penghormatan.

Pandangan Maurice Halbwachs tentang ingatan kolektif memperkuat dilema ini. Ingatan publik, menurutnya, tidak lahir begitu saja; ia dibentuk oleh institusi, kurikulum, peringatan, dan simbol simbol resmi. Anak-anak yang tumbuh setelah era Reformasi mungkin mengenal Soeharto pertama-pertama lewat gelar barunya sebelum suatu hari menemukan catatan yang lebih muram. Gelar ini, betapapun, menjadi garis penanda baru yang akan mengalir ke buku sejarah, pidato peringatan, dan cerita yang diturunkan antar generasi.

Di tengah pergulatan memori itu, negara melangkah maju. Dalam upacara Hari Pahlawan 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional, termasuk Soeharto, Marsinah, dan Abdurrahman Wahid. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pendahulunya,” ujar Presiden dalam pidato yang menandai keputusan itu. Kalimat yang diucapkannya mengalun seperti ajakan untuk melihat sejarah sebagai rumah besar, tempat segala warna ditempatkan bersama.

Namun rumah itu tidak sepi. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira langsung mengingatkan bahwa gelar pahlawan bukan sekadar mahkota penghormatan, tetapi pantulan moral kolektif bangsa. “Keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara,” ujarnya. Andreas menyinggung peristiwa 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, penembakan misterius, DOM Aceh dan Papua, hingga Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 sebagai catatan yang tidak mungkin dihapus dari ruang sejarah.

Keadilan yang Menuntut Kejujuran

John Rawls berbicara tentang fairness, gagasan bahwa keadilan harus lahir dari keberimbangan, bukan penghapusan. Maka ketika negara memilih memberikan penghargaan, negara juga berkewajiban menjaga keseimbangan antara jasa dan luka. Apa yang dibangun Soeharto tidak boleh menenggelamkan apa yang hancur pada masa kekuasaannya. Tanpa keberanian menjaga seluruh wajah sejarah tetap utuh, gelar kehormatan justru kehilangan pijakan moral.

Di sisi lain, suara yang mendukung tetap muncul. Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Danang Wicaksana Sulistya, menilai keputusan itu sebagai bagian dari penghormatan bangsa atas jasa pembangunan dan stabilitas nasional era Orde Baru. “Pak Harto memberikan kontribusi luar biasa bagi Indonesia dan membawa banyak kemajuan di sektor ekonomi dan infrastruktur,” katanya. Danang mengajak publik melihat sejarah dengan prinsip Mikul Dhuwur Mendhem Jero, suatu kebijaksanaan Jawa untuk menempatkan martabat para pemimpin dengan hormat, tanpa menutup ruang kritik.

Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan yang terlalu lama menggumpal di satu tangan cenderung melahirkan bayangan kekerasan. Pengakuan negara atas kontribusi Soeharto tidak boleh dianggap sebagai penghapus jejak. Luka yang tidak diakui akan tumbuh menjadi jurang emosional antara negara dan rakyatnya, terutama mereka yang kehilangan keluarga, kebebasan, atau masa mudanya akibat kebijakan represif negara.

Sikap tegas juga datang dari Komnas Perempuan. Dalam pernyataannya, Wakil Ketua Komnas Perempuan Dahlia Madanih menyebut keputusan tersebut “pengingkaran terhadap fakta sejarah yang telah didokumentasikan dalam berbagai laporan resmi lembaga HAM nasional.” Ia mengingatkan kembali temuan TGPF Mei 1998, laporan KPP HAM, serta puluhan kesaksian penyintas, terutama perempuan korban kekerasan seksual. “Fakta sejarah menunjukkan masa kekuasaan Soeharto diduga kuat bertanggung jawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan pembungkaman kebebasan berekspresi,” ujarnya.

Desmond Mpilo Tutu memberi contoh bahwa rekonsiliasi tidak mungkin tumbuh jika kebenaran dikaburkan. Gelar pahlawan bisa saja dianugerahkan, tetapi kebenaran tentang masa lalu tidak boleh digelapkan. Hanya bangsa yang berani membuka seluruh lapisan sejarahnya yang akan mampu berjalan tanpa dihantui bayangannya sendiri.

Ingatan Bangsa yang Diuji

Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas terbayang, dibentuk oleh simbol-simbol dan penanda yang disepakati bersama. Ketika nama Soeharto kini ditempatkan dalam barisan pahlawan nasional, sebuah batu penanda baru ditambahkan ke fondasi imajinasi kebangsaan. Batu itu bisa menjadi pijakan, tetapi bisa pula menjadi ganjalan, tergantung bagaimana bangsa ini menjaga kejujuran sejarahnya.

Keputusan negara sudah final. Gelar telah diberikan. Maka tugas moral bangsa tidak berhenti pada seremoni. Pendidikan harus tetap jernih, tidak digunting demi kenyamanan. Arsip pelanggaran HAM tidak boleh digembok atas nama harmoni semu. Ruang pemulihan korban tidak boleh mengecil hanya karena negara memilih memberi penghargaan. Kejujuran sejarah harus tetap tegak, atau bangsa ini akan goyah menanggung bayangan masa lalu yang tidak selesai dibicarakan.

Bangsa yang kuat bukan bangsa yang menghapus babak kelamnya. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang berani memandang wajah sendiri secara penuh, lengkap dengan bekas luka yang tidak mudah disembuhkan. Gelar pahlawan bisa diberikan, tetapi kebenaran sejarah tidak boleh dikorbankan untuk menenangkan nurani politik. Sebab yang sedang ditimbang bukan hanya nama seorang tokoh, melainkan martabat moral seluruh bangsa.

Pada akhirnya, waktu akan menjadi hakim yang paling tenang. Sejarah akan memilih sendiri bagian mana yang layak bertahan. Dan bangsa ini, jika ingin berdiri tegak, harus berani membawa seluruh babak hidupnya apa adanya, tanpa menutup halaman yang sulit dibaca, tanpa menepikan luka yang tertinggal. (*)

Menot Sukadana