Podiumnews.com / Khas / Sosok

Dari Skizofrenia ke Pena: Jalan Menulis sebagai Penyembuhan

Oleh Nyoman Sukadana • 12 November 2025 • 03:58:00 WITA

Dari Skizofrenia ke Pena: Jalan Menulis sebagai Penyembuhan
Angga Wijya foto bareng dengan peserta pelatihan Bumi Setara yang menunjukkan sertifikat, merayakan keberanian bercerita dan menulis dari pengalaman hidup. (foto/angga)

RUANGAN di Kafe White Channy, Renon, Denpasar, siang itu terasa hangat, bukan hanya karena aroma kopi, tetapi juga oleh keheningan penuh perhatian dari sepuluh muda-mudi penyandang disabilitas. Mereka berkumpul bukan untuk sekadar bersantai, melainkan untuk sebuah misi: belajar mengubah kisah dan kesulitan hidup mereka menjadi kekuatan sosial melalui tulisan opini.

Di depan mereka berdiri Angga Wijaya, seorang penulis dan wartawan yang telah aktif dalam dunia tulis-menulis sejak tahun 2001. Angga bukan hanya seorang ahli dengan pengalaman lebih dari dua dekade, tetapi juga seorang penyintas yang membuka sesi dengan pengakuan pribadi yang menyentuh.

“Saya penyandang skizofrenia yang sudah pulih,” ujar Angga dengan tatapan meyakinkan. “Kalau saya bisa kembali bekerja, menulis, dan berbicara di depan kalian hari ini, itu karena saya percaya satu hal sederhana: menulis adalah bagian dari proses penyembuhan dan pemberdayaan.”

Kisah pemulihan Angga menjadi inti dari seluruh pelatihan yang diselenggarakan oleh Bumi Setara pada Minggu (9/11/2025) itu. Organisasi yang fokus pada interseksi hak asasi disabilitas tersebut memahami bahwa advokasi yang paling kuat sering kali berawal dari pengalaman pribadi yang jujur, pengalaman yang diolah menjadi gagasan kritis, bukan sekadar keluh kesah. Dengan pengalaman Angga sebagai wartawan yang berhasil pulih, ia menjadi contoh nyata bahwa menulis mampu memulihkan fungsi diri dan profesionalitas.

Ni Putu Candra Dewi SH MIS, Direktur Program Bumi Setara, menjelaskan bahwa pelatihan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk membuka ruang literasi yang setara. “Suara penyandang disabilitas masih minim dalam diskursus publik. Padahal, perspektif mereka sangat penting untuk mencerminkan kenyataan sosial yang lebih lengkap,” tegasnya.

Bagi Bumi Setara, menyediakan wadah bagi penyandang disabilitas untuk menulis opini merupakan langkah strategis untuk memperkuat advokasi yang lebih luas. Pengalaman sehari-hari yang sering kali tidak masuk pemberitaan mulai dari keterbatasan akses trotoar, diskriminasi dalam pendidikan atau pekerjaan, hingga persoalan kesehatan mental adalah harta karun yang harus diubah menjadi energi perubahan.

Angga Wijaya lantas membekali para peserta dengan amunisi teknis. Ia menekankan bahwa tulisan opini bukanlah sekadar tempat untuk mencurahkan perasaan. Itu adalah alat advokasi yang dapat memengaruhi cara masyarakat dan pemerintah melihat persoalan.

“Lewat tulisan opini, kita tidak hanya menceritakan pengalaman pribadi, tapi juga mengubahnya menjadi kekuatan sosial,” tandasnya. Ia memaparkan ciri-ciri opini yang baik: harus terfokus pada satu ide besar, ditopang data dan pengalaman nyata, serta memiliki nilai kemanusiaan yang mampu menggugah dan memengaruhi pembaca.

Sesi menjadi sangat interaktif ketika peserta diminta menulis paragraf pembuka opini berdasarkan isu yang mereka hadapi. Di sinilah kekuatan personal itu muncul.

Seorang peserta mulai menulis tentang frustrasinya terhadap aksesibilitas trotoar yang memaksa kursi rodanya terperosok. Peserta lain menyoroti buruknya layanan pendidikan inklusif yang belum optimal. Ada pula yang mengangkat pengalaman pahit diskriminasi di tempat kerja.

Mereka membacakan tulisan mereka, dan suasana diskusi berlangsung hangat. Angga dan Candra Dewi memberikan umpan balik yang membangun, membantu mereka menyusun struktur opini, mulai dari judul yang memancing perhatian hingga penutup yang memberi ajakan atau refleksi kuat. Momen ini menjadi bukti bahwa menulis memang merupakan cara efektif untuk menata pikiran dan menemukan solusi kolektif.

Candra Dewi mengapresiasi antusiasme yang tinggi tersebut. Ia menyebut pelatihan ini sebagai langkah awal untuk membangun komunitas muda disabilitas yang vokal dengan berbagai medium.

"Menulis membantu saya menata pikiran dan mengubah cara orang melihat saya," pesan Angga Wijaya menutup sesi. "Teruslah menulis, sekecil apa pun tulisan kalian, karena setiap kata bisa membuka jalan perubahan."

Pelatihan ditutup dengan undangan terbuka bagi peserta untuk mengirimkan draf opini mereka kepada Bumi Setara. Organisasi ini tidak hanya berhenti pada pelatihan, tetapi juga membuka ruang publikasi di bumisetara.org untuk memastikan suara-suara baru ini benar-benar didengar dan mampu mendorong kebijakan yang lebih inklusif serta berkeadilan di Bali. Melalui pena, kelompok disabilitas kini memegang kunci untuk memecah keheningan yang selama ini membungkus isu-isu krusial mereka.

(sukadana)