Psikologi yang Menemukan Alam
KETIKA sebagian orang melihat ilmu psikologi sebagai jalan menuju klinik, konseling, atau riset perilaku, Wahyu Eka Styawan justru membawanya ke tempat yang berbeda: ke desa-desa yang menghadapi pencemaran, ke komunitas yang terancam kehilangan ruang hidup, hingga ke panggung internasional tempat ia berbicara tentang hubungan manusia dan lingkungan.
Sebagai Direktur Eksekutif dan Koordinator Riset WALHI Jawa Timur, Wahyu menghabiskan banyak waktunya bukan di kantor, melainkan di lapangan. Ia hadir di tengah warga, berdiskusi, membangun jaringan, dan merumuskan strategi kampanye berbasis riset. Bukan hanya untuk menyuarakan isu lingkungan, tetapi untuk membangun kesadaran bahwa alam bukan hanya sumber daya, melainkan bagian dari kehidupan manusia.
Di balik semua aktivitas itu, ada satu fondasi yang tidak pernah ia lepaskan: pemikiran psikologi sosial. Ia percaya, kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi karena lemahnya kebijakan, tetapi karena belum terbentuknya kesadaran kolektif.
“WALHI itu kekuatannya pendidikan,” ujarnya, Selasa (18/11/2025). Prinsip itu kemudian ia terjemahkan dalam berbagai bentuk: sekolah lingkungan, kelas ekologi, pelatihan relawan, hingga ruang dialog lintas generasi. Dari mahasiswa hingga masyarakat umum, semuanya dilibatkan. Bukan sebagai objek ceramah, tapi sebagai bagian dari gerakan.
Namun mendampingi komunitas tidak selalu aman dan mudah. Saat berhadapan dengan kepentingan ekonomi di balik kerusakan lingkungan, ancaman pernah datang. Tekanan mental pun kerap muncul. Di sinilah ilmu psikologi kembali menemukan relevansinya, tidak hanya untuk memahami orang lain, tapi juga untuk menjaga ketahanan diri.
Ia menggunakan pendekatan komunikasi psikologis ketika berbicara dengan warga, pemerintah, bahkan pihak yang berseberangan pandangan. Ia juga memanfaatkan analisis sosial untuk memetakan respon publik dan membangun jaringan advokasi yang berkelanjutan.
Bagi Wahyu, membela lingkungan bukan hanya soal kampanye besar atau aksi demonstrasi. Kesadaran bisa dimulai dari rumah, dari piring makan sendiri.
Ia selalu mengingatkan: air yang mengalir di rumah kita datang dari proses panjang. Di sebutir nasi yang kita buang, ada liter demi liter air yang sudah dikorbankan sejak menanam, memasak, hingga mencucinya. Menjaga lingkungan, katanya, bukan selalu tentang gerakan besar. Kadang, cukup dimulai dari menghargai makanan.
Kiprah Wahyu menunjukkan satu hal penting: ilmu bisa berpindah bentuk. Psikologi bisa lahir bukan hanya sebagai terapi, tetapi sebagai alat memahami manusia ketika berhadapan dengan alamnya.
Dari ruang kuliah ke ruang komunitas. Dari teori ke aksi lapangan. Dari psikologi ke ekologi.
Dan dari sana, ia tetap melangkah, membuktikan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya soal aktivisme, tetapi tentang memahami manusia dan cara mereka memberi makna pada alam.
(riki/sukadana)