Podiumnews.com / Horison / Humaniora

Marsinah: Keadilan dan Pengakuan yang Tertunda

Oleh Nyoman Sukadana • 12 November 2025 • 04:41:00 WITA

Marsinah: Keadilan dan Pengakuan yang Tertunda
Nama Marsinah, aktivis buruh yang resmi menyandang gelar Pahlawan Nasional, diabadikan sebagai nama ruang pelayanan hak asasi manusia (HAM) di kantor Kementerian HAM (Kemenham). (ANTARA )

ADEGAN itu begitu membekas dalam ingatan kolektif bangsa. Dalam film Marsinah: Cry Justice (2001), ditampilkan dengan kelam dan tragis, sosok seorang buruh perempuan yang berani mendatangi markas aparat militer. Ia tidak membawa senjata, hanya membawa keberanian moral untuk menanyakan nasib rekan-rekannya yang diculik dan dipaksa mengundurkan diri.

Adegan ini, yang berujung pada kematiannya yang keji, adalah cerminan dari pertarungan abadi: pertarungan kelas pekerja melawan kekuasaan yang represif dan sistem ekonomi yang menindas.

Di Hari Pahlawan 10 November 2025, drama sejarah itu menemukan resolusi simbolisnya. Di Istana Negara, di tengah keharuan para ahli waris, Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah.

Pengakuan ini bukan sekadar penghormatan, tetapi penegasan bahwa perjuangan Marsinah adalah inti dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan sosial, sebuah konsep yang telah diperjuangkan oleh para pemikir terkemuka dunia.

Marsinah Tinjauan Teori Keadilan

Perjuangan Marsinah menuntut upah yang layak bagi buruh pabrik jam tangan PT Catur Putra Surya (CPS) pada tahun 1993 di Sidoarjo dapat ditinjau melalui kerangka pemikiran tokoh-tokoh besar dalam ilmu sosial dan filsafat politik. Kasus Marsinah adalah kasus eksploitasi struktural yang berujung pada kekerasan negara, sebuah tema sentral dalam kritik kapitalisme.

Marx: Eksploitasi Nilai Lebih

Menurut Karl Marx, akar masalah dalam kapitalisme terletak pada eksploitasi tenaga kerja melalui konsep surplus value (nilai lebih). Buruh menghasilkan nilai yang lebih besar daripada upah yang mereka terima; selisihnya diambil oleh pemilik modal. Marsinah berjuang melawan ketidakadilan ini.

Tuntutan Marsinah untuk kenaikan upah minimum adalah upaya untuk merebut kembali sebagian dari nilai lebih yang telah dieksploitasi. Kematiannya, yang terjadi setelah ia memimpin aksi menuntut hak ekonomi, menunjukkan betapa kejamnya sistem yang melindungi akumulasi modal bahkan dengan mengorbankan nyawa pekerja.

Dalam konteks Marxian, Marsinah adalah proletariat sejati yang bangkit melawan borjuasi yang bersatu dengan alat kekerasan negara.

Gramsci: Melawan Hegemoni Kuasa

Sementara Marx berfokus pada struktur ekonomi, Antonio Gramsci menyoroti peran hegemoni, suatu kondisi dominasi ideologi dan budaya yang membuat kelas tertindas menerima ketertindasan mereka sebagai hal yang wajar.

Dalam kasus Marsinah, hegemoni Orde Baru saat itu berupaya membungkam setiap bentuk organisasi buruh, melabeli aktivis sebagai pengganggu keamanan, dan mengesankan bahwa kepentingan modal adalah kepentingan nasional.

Marsinah, dengan keberaniannya memimpin negosiasi dan mendatangi markas militer, melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai perang posisi (penolakan untuk menerima ideologi dominan).

Ia tidak hanya melawan perusahaan, tetapi juga melawan hegemoni yang menormalisasi upah rendah dan penindasan. Ia menciptakan kesadaran kelas kolektif di antara rekan-rekannya, sebuah ancaman nyata bagi stabilitas rezim otoriter yang bersandar pada ketertundukan buruh.

Rawls: Prinsip Perbedaan Sosial

Jika dilihat dari sudut pandang liberal-kontemporer, John Rawls dalam A Theory of Justice mengedepankan Prinsip Perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.

Marsinah adalah perwujudan dari anggota masyarakat yang "paling tidak beruntung" buruh perempuan dengan upah rendah. Perjuangannya menuntut upah layak adalah upaya untuk menerapkan Prinsip Perbedaan di tingkat akar rumput, memastikan bahwa keuntungan ekonomi pabrik harus juga membawa manfaat nyata dan adil bagi mereka yang berada di dasar piramida ekonomi.

Kematiannya menunjukkan kegagalan sistem untuk melindungi martabat manusia yang paling rentan.

Air Mata Pengakuan Istana

Jasa-jasa dan pengorbanan Marsinah yang selaras dengan nilai-nilai perjuangan universal inilah yang diakui oleh negara pada tahun 2025. Di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025), momen penganugerahan gelar Pahlawan Nasional menjadi penutup lembar sejarah yang berdarah.

Suasana haru menyelimuti upacara ketika nama Marsinah disebut. Keluarga yang hadir, yang selama puluhan tahun menanti keadilan, tampak menitikkan air mata. Marsini, kakak kandung Marsinah, yang menerima anugerah tersebut, mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Prabowo atas anugerah ini. Saya tidak menyangka, Marsinah jadi orang besar, membanggakan seluruh Indonesia, khususnya Nganjuk. Sekarang Nganjuk punya pahlawan nasional,” ujar Marsini dengan mata berkaca-kaca.

Kutipan itu bukan hanya suara kebanggaan pribadi, tetapi suara pembebasan kolektif. Itu adalah pengakuan bahwa perjuangan melawan eksploitasi dan ketidakadilan, meskipun harus dibayar dengan nyawa, pada akhirnya akan dikenang sebagai kepahlawanan sejati. Marsinah, yang lahir di Desa Nglundo, Nganjuk, kini diakui sebagai simbol perjuangan moral yang abadi bagi seluruh Indonesia.

Marsini menyimpulkan momen itu dengan penghormatan mendalam: “Terima kasih adikku Marsinah, karena berkatmu kami bisa berdiri di Istana Negara hari ini.”

Kepahlawanan Marsinah adalah pengingat bahwa keadilan sosial yang dicita-citakan oleh para founding fathers bangsa harus terus diperjuangkan di setiap ruang: dari pabrik yang bising, meja perundingan upah, hingga aula pengadilan.

Dengan gelar Pahlawan Nasional ini, pena Marsinah yang sempat patah kini kembali diacungkan, menjadi mercusuar bagi perjuangan martabat dan hak-hak pekerja di masa depan. (*)

Menot Sukadana