Podiumnews.com / Horison / Humaniora

Mitos Nusantara, Rekaman Kiamat Purba

Oleh Nyoman Sukadana • 13 November 2025 • 04:43:00 WITA

Mitos Nusantara, Rekaman Kiamat Purba
Nyi Roro Kidul menatap ombak selatan, saksi bisu amarah bumi dan ingatan purba Nusantara. (podiumnews)

KEPULAUAN Nusantara, sebuah anugerah geologis yang terletak di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama: Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Posisi geologis yang super aktif ini telah membentuk bentang alam yang memukau rangkaian gunung berapi, palung laut dalam, dan daratan subur, tetapi juga menjadikannya salah satu wilayah paling rentan di dunia terhadap gempa bumi, tsunami, dan letusan vulkanik. Jauh sebelum peta modern digambar dan instrumen seismik diciptakan, masyarakat kuno mewariskan memori dan pemahaman tentang peristiwa alam luar biasa melalui wadah yang paling fundamental: dongeng dan cerita rakyat lisan.

Dongeng-dongeng ini, yang melampaui ribuan tahun, sering kali berfungsi sebagai kearifan lokal yang tersembunyi. Untuk menganalisis fenomena ini, para ilmuwan menggunakan pendekatan interdisipliner yang dikenal sebagai Geomitologi. Geomitologi menafsirkan mitos bukan hanya sebagai fiksi belaka, melainkan sebagai arsip sejarah alam, suatu "memori kolektif" yang terukir dalam narasi budaya. Tinjauan mendalam mengungkap bahwa legenda leluhur menyimpan data berharga mengenai bencana purba yang skalanya sulit dijangkau oleh ingatan kolektif biasa.

Tinjauan Ahli: Mitos Pengendali Sosial

Dalam kajian folklor, fungsi cerita rakyat telah lama diteliti. Menurut ahli folklor terkemuka, William R. Bascom, salah satu fungsi inti cerita rakyat adalah sebagai alat pengesah pranata dan alat pengendalian sosial. Dalam konteks lingkungan yang rawan bencana, dongeng mengesahkan ritual, pantangan, atau larangan geografis tertentu yang, secara tidak langsung, berfungsi sebagai panduan keselamatan di lingkungan yang rentan ancaman.

Pandangan Bascom ini sangat relevan di Indonesia. Saat ini, para geolog di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memanfaatkan mitos bukan untuk membenarkan takhayul, tetapi sebagai sarana efektif untuk mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Mereka mencari korelasi antara alur cerita dramatis dengan jejak geologis di masa lampau.

Nyi Roro Kidul: Tsunami Purba

Seluruh kawasan pantai selatan Jawa berhadapan langsung dengan zona subduksi lempeng, tempat lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Eurasia. Proses tektonik ini memicu gempa bumi besar (megathrust) yang berpotensi menghasilkan tsunami. Legenda Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan, sering dikaitkan dengan kekuatan ombak Samudera Hindia yang ganas dan mematikan. Secara tradisional, pantangan seperti larangan mengenakan pakaian hijau diyakini sebagai bentuk peringatan kultural untuk menghindari bahaya laut.

Tinjauan Geologis dari Dr Eko Yulianto, peneliti paleotsunami dari BRIN, adalah salah satu ahli yang mendukung hipotesis Geomitologi ini. Ia menegaskan bahwa kisah Nyi Roro Kidul dapat diinterpretasikan sebagai metafora yang merekam tsunami purba (paleotsunami). Penelitian geologis yang ia lakukan di pesisir selatan Jawa menemukan lapisan endapan pasir yang terangkat dari laut, yang mengindikasikan pernah terjadi gelombang raksasa sekitar empat abad silam (sekitar tahun 1600-an, atau awal abad ke-17). Narasi ombak bergulung-gulung yang menyeret manusia ke daratan dan meminta "tumbal" memiliki kesamaan mekanis dengan tsunami. Dalam konteks ini, dongeng tersebut berfungsi sebagai sistem peringatan dini kultural yang mengajarkan masyarakat untuk selalu waspada terhadap Samudera Hindia yang aktif secara tektonik, dengan menyembunyikan memori bencana di balik figur spiritual yang wajib dihormati.

Danau Toba: Letusan Raksasa

Fenomena geologis paling masif di Sumatera Utara adalah Danau Toba, sebuah cekungan air yang mengisi kaldera raksasa. Legenda lokal tentang seorang nelayan bernama Toba yang melanggar janji kepada istrinya yang jelmaan ikan, sehingga memicu hujan dan banjir besar, sering dikaitkan dengan peristiwa ini.

Pandangan Geologis mengungkapkan, Danau Toba adalah pusara dari letusan gunung berapi super (supervolcano) yang diperkirakan terjadi sekitar 74.000 tahun silam. Letusan dahsyat ini diklasifikasikan dengan indeks daya ledak VEI 8, menjadikannya salah satu yang terbesar dalam sejarah Bumi. Erupsi ini memuntahkan material vulkanik hingga mencapai 2.800 kilometer kubik. Keruntuhan dapur magma pasca-erupsi menghasilkan kawah besar (kaldera) yang kini terisi air. Beberapa teori bahkan mengaitkan letusan ini dengan Toba Catastrophe Theory, yaitu musim dingin vulkanik global yang memengaruhi iklim dunia. Dongeng Toba adalah bentuk naratif lokal yang merangkum kengerian bencana berskala kosmik ini, menjelaskan asal-usul bentang alam masif dan unik ini.

Sangkuriang: Gunung Sunda Purba

Di Jawa Barat, legenda Sangkuriang menjelaskan asal-usul Gunung Tangkuban Parahu. Sangkuriang yang gagal memenuhi syarat mustahil Dayang Sumbi (membangun perahu dan danau dalam semalam) menendang perahu buatannya hingga terbalik, yang kemudian menjadi gunung tersebut.

Pandangan Geologis menyebutkan secara geologis, Gunung Tangkuban Parahu adalah sisa-sisa jasad Gunung Sunda Purba yang jauh lebih besar. Bentuknya yang menyerupai "perahu terbalik" adalah ciri morfologi khas dari sebuah kaldera atau sisa kawah besar. Para ahli meyakini bahwa Gunung Sunda Purba mengalami erupsi katastropik dan keruntuhan pada suatu masa yang sangat lama, meninggalkan kaldera besar yang kini mencakup area Bandung. Mitos Sangkuriang memberikan penjelasan dramatis mengenai perubahan bentuk geologis Gunung Sunda Purba yang runtuh dan banjir lahar yang mungkin menyertainya (diinterpretasikan sebagai upaya Sangkuriang membendung sungai Citarum).

Manik Angkeran: Batas Geografis

Legenda Manik Angkeran berfokus pada pemisahan Pulau Jawa dan Bali oleh Selat Bali. Empu Sidi Mantra menciptakan garis batas di lautan dengan tongkat saktinya untuk memisahkan diri dari putranya yang serakah. Kisah ini adalah folklor etiologis yang secara primer menjelaskan mengapa dua daratan besar terpisah oleh selat sempit. Selain fungsi moralnya yang kuat (bahaya keserakahan), dongeng ini menegaskan batas geografis, budaya, dan spiritual yang terbentuk antara dua pulau.

Mitos untuk Mitigasi Bencana

Kekuatan dongeng terletak pada kemampuannya untuk diwariskan secara turun-temurun tanpa membutuhkan literasi formal. Dalam konteks modern, Geomitologi menyajikan jembatan bagi Mitigasi Bencana Berbasis Budaya. Alih-alih mengabaikan mitos, para ilmuwan kini menyadari bahwa kisah-kisah lama ini adalah lentera peringatan yang efektif. Melalui dongeng, masyarakat tidak perlu diyakinkan tentang potensi bencana, karena mereka telah "mengingatnya" melalui cerita leluhur. Mitos ini menyampaikan pesan abadi, bahwa bahaya alam yang pernah terjadi memiliki potensi untuk terulang kembali sesuai siklus geologis, dan kearifan lokal adalah lapisan pertahanan pertama yang harus dipertahankan. (*)

Menot Sukadana