Jurnalisme, Sisa Api di Tengah Abu
MALAM semakin tua. Hujan turun pelan, seperti suara yang enggan pergi. Di meja, secangkir kopi kehilangan hangatnya, tapi aromanya masih tinggal, samar. Layar komputer tetap menyala, menampilkan baris kalimat yang belum selesai. Kadang aku merasa jurnalisme kini seperti kopi itu, ada tapi mulai kehilangan rasa.
Menulis berita sekarang bukan lagi soal siapa paling cepat. Pertarungan itu sudah selesai dan dimenangkan oleh mesin. Yang tersisa hanyalah orang-orang yang masih mencoba menulis dengan hati, meski sering kalah oleh waktu. Banyak yang menulis, tapi sedikit yang sungguh mendengar. Kita sibuk mencari bunyi, tapi lupa mencari makna.
Aku ingat masa ketika berita lahir dari rasa takut salah. Takut keliru menulis nama, takut menafsirkan fakta. Redaksi dulu bukan sekadar tempat bekerja. Ia semacam rumah, tempat tawa dan debat bersanding dengan bau kopi dan asap rokok yang tak pernah hilang. Sekarang semuanya lebih cepat, lebih rapi, lebih sepi. Berita tayang sebelum sempat direnungkan.
Teknologi membuat segalanya mudah, tapi diam-diam ia menghapus sesuatu: kesempatan untuk berhenti sejenak dan bertanya, apakah ini masih benar. Kadang, di antara notifikasi yang terus berdenting, aku merindukan hening yang dulu selalu datang di antara dua kalimat.
Namun tidak semuanya hilang. Masih ada wartawan yang menulis dari tempat jauh dengan sinyal yang putus-putus. Masih ada yang memeriksa fakta berkali-kali sebelum tidur. Mereka menulis tanpa banyak bicara, tanpa berharap dipuji. Mereka hanya ingin berita yang sampai, jujur, dan tidak menyakiti siapa pun.
Mungkin jurnalisme memang harus kembali pelan. Tidak semua hal perlu segera dikabarkan. Dunia sudah cukup ramai. Mungkin yang dibutuhkan sekarang bukan berita yang cepat, tapi cerita yang bisa dipercaya.
Aku pernah melihat wajah-wajah wartawan yang mulai letih. Beberapa masih bertahan karena rasa tanggung jawab. Beberapa lainnya hanya karena tak tahu harus ke mana. Tapi selalu ada satu dua orang yang masih menatap layar dengan tenang, dengan keyakinan yang sederhana, bahwa pekerjaan ini masih penting meski dunia berubah.
Kopi di meja redaksi tahu rahasia itu. Setiap orang yang pernah benar-benar menulis berita menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Entah itu keyakinan, entah kebiasaan. Tapi dari situlah hidup ini tetap terasa punya arah.
Jurnalisme tidak perlu jadi besar. Ia hanya perlu jujur. Ia tidak harus ramai, cukup tulus.
Dan mungkin, seperti sisa kopi di dasar cangkir, ia masih pahit, tapi justru di sanalah kita belajar untuk tetap terjaga. (*)
Menot Sukadana