Mengingat Bali yang Kita Kenal
MINGGU pertengahan Oktober, setelah menyelesaikan liputan di Bongkasa, saya dan seorang teman wartawan, Erik Sera, berhenti di sebuah kedai kopi yang bersebelahan dengan sawah luas. Dari tempat duduk kami, garis hijau terbentang tanpa jeda. Angin berjalan pelan, dan suara-suara kecil dari serangga bercampur dengan jauh-dekatnya kendaraan di jalan.
Di antara menunggu pesanan, ingatan saya kembali pada masa kecil di tahun 90-an. Masa ketika orang Bali mengucapkan sing ade luungan teken Bali bukan sebagai slogan, tapi sebagai keyakinan yang dihayati. Bagi warga di kampung, Bali adalah tempat paling nyaman. Saya sendiri terbiasa menjawab, jaen idup di Bali, karena rasanya memang seperti itu. Alamnya indah, ritme hidupnya tidak tergesa, dan masyarakatnya punya ikatan yang kuat.
Saya masih ingat bagaimana tokoh-tokoh dunia datang ke Bali dan membuat daerah ini jadi sorotan. Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat, misalnya, datang pada tahun 1986 dengan pesawat Concorde. Bagi anak-anak seperti saya saat itu, yang hanya mengenal dunia dari koran dan cerita orang tua, pesawat supersonik itu terdengar seperti sesuatu yang bisa mengguncang langit. Ada cerita bahwa kaca-kaca rumah bisa pecah kalau ia lewat, dan kami percaya saja. Gambar pesawat berhidung bengkok itu melekat lama di ingatan.
Tahun 1990, Mick Jagger, vokalis The Rolling Stone, menikah dengan Jerry Hall di Bali dengan prosesi adat Hindu. Berita itu muncul di halaman depan koran dan menjadi perbincangan di mana-mana. Ada yang merasa bangga, ada yang merasa adat dilecehkan. Bagi saya yang masih sekolah dasar waktu itu, peristiwa itu sekadar menunjukkan bahwa Bali selalu menjadi tempat yang menarik perhatian dunia.
Di masa itu, koran-koran sering menyebut Bali sebagai The Last Paradise. Ada yang bilang istilah itu datang dari Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru ketika berkunjung pada tahun 1950. Entah benar atau tidak, yang jelas istilah itu begitu sering diulang sehingga menjadi bagian dari imajinasi bersama. Bahkan ada cerita bahwa turis asing merasa rugi kalau tidak pernah ke Bali, dan mereka konon akan merasa bahagia jika bisa meninggal di sini.
Di kampung, kehidupan terasa aman. Motor dibiarkan dengan kunci masih menggantung. Pencurian hampir tidak terdengar. Orang mengatakan bahwa warga Bali takut pada karma phala, sehingga kejahatan seperti itu jarang terjadi. Dan keyakinan seperti itu membentuk cara orang luar melihat kita: ramah, lembut, pemalu, baik hati, dan seperti terlahir sebagai seniman.
Ketika dewasa, saya baru memahami bahwa banyak gambaran tentang Bali dibentuk oleh karya para seniman asing yang hidup di sini pada dekade-dekade awal abad 20. Nama-nama seperti Antonio Blanco, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Miguel Covarrubias, Walter Spies, hingga Ketut Tantri (nama lahir Muriel Stuart Walker), ikut menata citra Bali sebagai pulau eksotis dengan penduduk yang artistik. Padahal nyatanya, tidak semua orang Bali bisa menari atau lahir dengan kemampuan seni seperti yang sering ditulis.
Tapi itu semua adalah cerita lama. Bali hari ini berada dalam situasi yang jauh lebih rumit. Di media sosial, potongan-potongan buruk tentang Bali mudah sekali menyebar: sampah menumpuk, banjir di mana-mana, kemacetan, kriminalitas, dan berbagai perilaku buruk wisatawan maupun warga. Banyak konten dibuat hanya untuk viral, bukan untuk menjelaskan persoalan.
Saya menceritakan kegelisahan itu kepada Erik. Saya bilang, Bali tidak seburuk gambaran di media sosial. Di sekeliling kami, sawah terbentang luas. Kedis kokokan masih terlihat. Capung dan kupu-kupu terbang rendah. Ini hanya beberapa kilometer dari Denpasar dan Kuta. Kalau ekosistemnya rusak total, hewan-hewan kecil ini pasti sudah hilang jauh hari.
Menurut saya, kerusakan Bali memang ada, tetapi tidak merata. Denpasar, Kuta, Seminyak, Canggu, dan beberapa daerah gunung tertentu memang menunjukkan tanda-tanda tekanan berlebihan. Namun banyak wilayah lain tetap terjaga. Banyak desa masih hidup dalam ritme lama. Banyak ruang masih mempertahankan wujud aslinya.
Saya bilang kepada Erik, Bali masih bisa diselamatkan. Masih ada waktu. Yang dibutuhkan bukan sekadar keluhan atau marah-marah di media sosial, tetapi usaha yang pelan dan konsisten. Media punya peran penting di sini: memberi penjelasan yang benar, menawarkan jalan keluar, dan tidak ikut menyeret Bali dalam arus sensasi.
Kami duduk cukup lama di kedai itu. Angin berhembus dari arah sawah. Suara burung terdengar sesekali. Di sela pemandangan itu, saya merasa Bali yang saya kenal masih ada. Tidak utuh seperti dulu, tapi belum hilang. Masih berdiri, meski dengan luka-lukanya.
Dan itu cukup untuk tetap berharap. (*)
Menot Sukadana