Air yang Datang, Kesadaran yang Dijual
HUJAN turun pelan sejak dua hari lalu. Tidak tergesa, tidak menggelegar, hanya jatuh dengan kesabaran yang membuat pagi terasa lebih jernih dan sore lebih senyap. Di atas meja, secangkir kopi Bali menguarkan aroma yang lembut. Uapnya naik perlahan seperti doa yang belum selesai diucapkan. Kadang ada hari ketika hujan tidak membawa bencana, tetapi membawa pengingat kecil tentang sesuatu yang lama kita abaikan. Dua hari ini adalah hari seperti itu.
Di media sosial, warganet saling berkirim gambar dan video. Denpasar kembali mengambang, Kuta dan Legian berubah menjadi sungai kecil, Jimbaran dan Tuban dipenuhi air yang berputar pelan, seolah mencari jalan yang dulu pernah ada. Setiap genangan yang muncul terasa seperti kesaksian bahwa kota ini tidak lagi sama dengan kota yang kita kenal beberapa tahun lalu. Namun, dari sekian banyak unggahan yang berseliweran, ada satu hal yang justru menghentikan langkah pikiran saya lebih lama. Bukan derasnya banjir, bukan motor yang mogok, bukan keluhan yang memenuhi layar. Melainkan sebuah iklan jual lahan di Facebook.
Iklan itu sederhana. Foto tanah kapling, jalan yang tampak mulus, pagar yang dirapikan, dan kalimat-kalimat standar yang biasa muncul dalam dunia properti. Namun jauh di bawah informasi umum itu, ada satu kalimat yang ditulis dengan huruf lebih tebal. Penjual menambahkan satu keunggulan yang kini terasa lebih berharga daripada listrik, fasilitas umum, atau akses jalan. Ia menulis bahwa tanah itu berada di kawasan bebas banjir.
Dua kata itu muncul seperti bisikan yang mengandung ironi. Dulu, tidak banjir bukanlah sesuatu yang perlu disebutkan. Bebas banjir adalah keadaan wajar, sebagaimana rumah memiliki atap dan pintu. Kita tidak mempromosikan hal yang memang sudah sewajarnya ada. Kini, keadaan wajar yang hilang itu justru dijual sebagai keistimewaan. Ketika sebuah kota mulai menjadikan ketidakbanjiran sebagai komoditas, itu berarti kita telah berjalan cukup jauh meninggalkan alam dan keseimbangannya.
Saya membaca ulang kalimat itu perlahan. Ada rasa perih yang mengendap di dada, seperti bubuk kopi yang tertinggal di dasar cangkir. Iklan itu terasa jujur dengan cara yang tidak nyaman. Ia tidak berteriak, tidak menyalahkan siapa pun, tetapi menunjukkan pembacaan paling tepat atas keadaan kota hari ini. Banjir sudah dianggap sebagai bagian dari hidup yang harus diterima. Dan bebas banjir diubah menjadi nilai jual yang diperhitungkan dalam transaksi.
Sementara itu, linimasa semakin ramai. Warganet menulis bahwa Bali Selatan kini seperti Jakarta karena setiap hujan selalu disertai banjir. Di Jalan Pulau Ayu Denpasar, seorang netizen membuat video singkat. Ia bercerita bahwa pada tahun 2006 banjir hanya setinggi dua puluh sentimeter, sekadar mengganggu halaman. Kini, air bisa mencapai pinggang orang dewasa. Ia mengucapkannya tanpa dramatisasi. Hanya ada suara seseorang yang merasa bahwa perubahan ini datang perlahan, tetapi pasti.
Di balik setiap unggahan itu, ada cerita yang sebenarnya lebih besar. Kita membangun kota dengan cepat, menutup tanah, mempersempit sungai, dan memaksa air mengikuti jalur yang bukan lagi miliknya. Sedikit demi sedikit ruang-ruang yang dulu memberi jeda kini menghilang. Kita menikmati kenyamanan jangka pendek dan melupakan bahwa air memiliki hak untuk kembali ke tempat asalnya. Dan ketika air tidak mendapat ruang, ia akan mencarinya. Kadang lewat jalan yang tidak kita sukai.
Yang membuat saya terdiam adalah cara kita mengolah kesadaran. Alih-alih menjadikan banjir sebagai pengingat, kita menjadikannya risiko yang diterima begitu saja. Alih-alih merenungkannya sebagai masalah bersama, kita mengubahnya menjadi poin informasi dalam jual beli lahan. Kalimat bebas banjir dalam iklan itu seperti penanda bahwa kita sudah memahami masalah ini, tetapi memilih menghadapi kenyataan itu dalam bentuk yang paling pragmatis, bukan dalam bentuk refleksi.
Saya teringat Denpasar masa lalu. Hujan berarti aroma tanah basah yang menenangkan. Sungai mengalir bebas. Udara lebih pelan. Halaman rumah menjadi tempat bermain tanpa rasa khawatir. Tidak ada percakapan tentang banjir. Tidak ada istilah langganan. Kota ini dulu memiliki ruang. Ruang bagi air untuk pulang, dan ruang bagi manusia untuk memahami batas.
Kini hujan yang sama turun di kota yang berbeda. Kota yang tumbuh tetapi kehilangan jedanya, kota yang bergerak tetapi lupa berhenti untuk melihat kembali. Kita membangun begitu banyak, tetapi merawat begitu sedikit. Pada akhirnya, hujan dua hari saja sudah mampu menunjukkan bahwa keseimbangan yang dulu kita warisi telah lama diganggu.
Saya menatap kembali kalimat bebas banjir itu. Dua kata yang tampak sederhana, tetapi membawa makna yang dalam. Kalimat itu seperti cermin yang memantulkan keadaan kita hari ini. Bukan hanya soal banjirnya, tetapi tentang kesadaran yang ikut tergerus. Ketika ketidakbanjiran dijual sebagai keunggulan, itu berarti kita sebenarnya telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada tanah atau bangunan. Kita kehilangan cara melihat kota ini dengan jujur.
Di luar, hujan masih turun. Suaranya jatuh perlahan di genting, membawa ketenangan yang memancing renungan. Di cangkir, kopi Bali mulai mendingin, tetapi aromanya tetap tinggal. Membuat seseorang ingin duduk lebih lama dan menampung satu tanya yang sejak tadi enggan pergi.
Air selalu tahu kapan harus datang.
Kesadaran sering tiba paling akhir, berjalan perlahan dalam genangan yang kita ciptakan sendiri. (*)
Menot Sukadana