Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Setahun Belajar dari Dua Guru Muda

Oleh Nyoman Sukadana • 07 November 2025 • 21:26:00 WITA

Setahun Belajar dari Dua Guru Muda
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

DALAM setahun terakhir, hidup mempertemukan saya dengan dua guru yang sebelumnya tidak pernah saya duga. Usia mereka lebih muda, perjalanan karier jurnalistik mereka dimulai belakangan dari saya. Namun justru dari merekalah saya belajar banyak hal yang akan mempengaruhi cara saya bekerja dan melangkah ke depan. Dua nama itu adalah Erik Sera dan Angga Wijaya.

Saya teringat pada satu gagasan yang pernah disampaikan Andrias Harefa dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar. Ia menulis bahwa dalam “Sekolah Kehidupan”, setiap orang adalah guru sekaligus murid dan sebaliknya. Semua berada pada posisi setara, siapa pun bisa menjadi sumber pelajaran jika kita mau membuka hati dan pikiran. Pengalaman saya bersama Erik dan Angga membuat kalimat itu terasa hidup.

Saya bertemu Erik Sera pada Oktober 2024. Saat itu kami intens liputan berdua. Ia mantan wartawan koran harian lokal dari grup media nasional. Dari dia, untuk pertama kalinya saya belajar hal yang selama ini menjadi kelemahan saya, yaitu algoritma media online. Pelajaran sederhana, tetapi penting, karena sebagai pengelola media saya selama ini lebih terfokus pada aspek konseptual dan pengembangan bisnis. Urusan teknis seperti algoritma sering saya abaikan.

“Kalau kita tidak paham tentang algoritma, maka media kita akan tertinggal omku. Belum terlambat untuk belajar,” katanya waktu itu. Kalimat itu menancap cukup dalam. Pada Desember 2024, saya memutuskan merombak seluruh mesin dan visual website PodiumNews. Sejak itu saya lebih sering berdiskusi dengan Wahyu, tim IT dan Medsos PodiumNews. Proses itu membawa saya ke pola belajar yang berbeda, yaitu learning by doing. Tidak lagi hanya mengatur rubrik atau meninjau gaya penulisan, tetapi benar-benar menyelami arsitektur media online.

Pada Oktober 2025, kami kembali bertemu di sebuah coffee shop di Denpasar Barat. Saya datang membawa dua buku tentang jurnalistik dan media online yang sedang saya pelajari. Ketika saya meletakkannya di meja, itu sebenarnya cara sederhana untuk menunjukkan bahwa nasihat Erik setahun sebelumnya benar-benar saya jalankan.

Percakapan kami sore itu terasa seperti ujian kecil atas proses belajar saya. Saya mencoba menimpali penjelasan Erik dengan istilah teknis yang dulu bahkan saya tidak tahu harus memulainya dari mana. Saya berkata bahwa saya mulai paham sedikit demi sedikit tentang algoritma. Saya juga bercerita bahwa belakangan ini saya rajin membaca artikel dan menonton video pembelajaran lalu mempraktikkannya satu per satu. Cara belajar seperti itu sering membuat saya jatuh bangun dalam trial and error tetapi dari situlah saya perlahan mulai mengenali polanya.

Erik tertawa kecil mendengar cerita saya dan saya ikut tersenyum. Pada saat itulah saya kembali merasa bahwa belajar tidak memiliki syarat usia atau kedudukan. Yang paling penting hanyalah keberanian untuk membuka diri dan mengakui bahwa diri kita masih perlu dituntun.

Guru kedua saya muncul pada Mei 2025. Namanya Angga Wijaya, teman sekantor saya sepuluh tahun lalu di sebuah koran harian yang berkantor di Ubung Kaja. Pertemuan kami terjadi saat PodiumNews membuka lowongan editor dan wartawan. Angga kemudian bergabung. Kesukaan kami pada dunia buku membuat pertemuan itu terasa seperti membuka kembali sesuatu yang pernah tertinggal.

Angga mendorong saya untuk kembali menulis dan membuat buku. Ia tahu bahwa dulu saya rutin menulis esai dan opini. Dari dorongan itu lahirlah rencana menerbitkan buku JEDA, yang kini tersusun menjadi tiga buku. Saya dengan jujur mengakui bahwa dalam hal buku dan seluk-beluknya, saya adalah murid Angga. “Kalau soal buku dan seluk beluknya, saya adalah murid. Saya baru belajar tentang bagaimana soal buku,” saya sampaikan saat kami bertemu kembali.

Angga telah menulis sekitar tujuh belas buku. Salah satunya bahkan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Korea. Saya sering mengatakan bahwa wartawan muda yang menulis buku saja sudah langka di Bali. Apalagi sampai tujuh belas buku. Itu lebih langka lagi. Dan dari kelangkaan itulah saya belajar tentang ketekunan, keteguhan, dan keberanian untuk menghasilkan karya yang bertahan lebih lama dari usia kita sendiri.

Setahun ini memberi saya banyak pelajaran. Dari Erik, saya belajar tentang teknologi dan keberlangsungan sebuah media. Dari Angga, saya belajar tentang keberanian berkarya dan kesetiaan pada dunia tulis-menulis. Keduanya membuat saya menyadari bahwa menjadi manusia pembelajar bukanlah slogan, melainkan cara hidup.

Dalam “Sekolah Kehidupan”, setiap orang yang kita temui berpotensi menjadi guru. Yang membedakan hanyalah apakah kita mau membuka diri untuk belajar atau lebih memilih merasa sudah cukup. Saya memilih belajar. Karena hanya dengan itulah saya bisa terus tumbuh, apa pun usia saya hari ini. (*)

Menot Sukadana