Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Yang Tumbuh Setelah Segalanya Usai

Oleh Nyoman Sukadana • 04 November 2025 • 13:17:00 WITA

Yang Tumbuh Setelah Segalanya Usai
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

“Setelah segalanya usai, hidup ternyata masih tumbuh. Hanya saja bukan di luar, melainkan di dalam diri yang belajar tenang.”

SEPULANG liputan dari Bongkasa, saya menyempatkan diri menengok lahan sawah peninggalan orang tua, tanah yang dibeli ayah sekitar empat puluh lima tahun lalu dari hasil tabungannya sebagai pegawai negeri. Saya duduk di bawah pohon kelapa yang rindang, menyalakan sebatang rokok, dan memandang hamparan hijau yang terbentang di hadapan. Angin berembus lembut membawa aroma lumpur dan dedaunan basah.

Langit di barat mulai menua warnanya, separuh jingga separuh abu. Burung-burung melintas rendah menuju sarang. Saya mengisap rokok perlahan, membiarkan waktu mengendap di dada. Di tanah inilah ayah dulu menanam harapan agar hidup kami cukup. Ia percaya, tanah tidak pernah berkhianat pada ketekunan.

Mungkin beginilah rasanya hidup setelah segalanya usai. Setelah ambisi menua, setelah nama tak lagi dipanggil di ruang sidang atau rapat, setelah kalender tak lagi penuh janji. Ada ruang kosong di dalam diri, tetapi tidak dingin. Hanya luas. Seperti sawah setelah panen, hening, tetapi mengandung janji untuk menumbuhkan sesuatu lagi. Sesuatu yang mungkin tidak lagi besar, tetapi cukup.

Saya masih ingat, dulu setelah ibu meninggal, ayah sering bercerita tentang keinginannya menjalani masa pensiun yang tenang. Ia tidak ingin memberatkan anak-anaknya. Dengan uang pensiun sebagai pegawai negeri sipil, ditambah hasil sewa kos dan rumah kontrakan, juga usaha kecil di kampung, ia yakin bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Ia hanya ingin hari tuanya sederhana, mengurus keluarga besar di kampung mengingat ia adalah anak tertua sambil tetap mengelola usaha kecil-kecilan agar tidak merepotkan siapa pun. Namun takdir berkata lain. Belum sempat ayah menikmati masa pensiunnya, ia meninggal akibat sakit.

Ayah saya adalah tipe manusia yang mempersiapkan masa depan dengan tenang dan disiplin. Ia tidak besar dari kemewahan, tetapi tumbuh dari kerja keras yang sabar. Dalam hal keuangan, ia sangat konservatif. Ia lebih percaya pada tanah dan rumah ketimbang hal-hal yang belum jelas wujudnya. Ibu saya, yang sehari-hari berjualan, menyeimbangkannya dengan investasi kecil dalam bentuk emas dan tabungan. Mereka berdua hidup sederhana, tetapi tahu kemana hidup ini harus dijalani.

Dulu, ayah sering menasihati saya, "Bukan besar kecil penghasilan yang penting, tapi bagaimana kamu bisa menyesuaikan diri dengan apa yang kamu dapat. Sisihkan sedikit untuk ditabung. Disiplin itu bukan soal uang, tapi tentang mengendalikan keinginan."

Ia dikenal hemat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Tidak pernah membeli pakaian baru bertahun-tahun, tidak pernah mengganti sepatu sebelum benar-benar rusak. Ia bekerja keras bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang lain. Meski hanya pegawai kecil yang sering sakit-sakitan, ia mampu membiayai pendidikan adik-adiknya di kampung, membantu mereka mencari pekerjaan, dan tetap menyekolahkan kami hingga tuntas.

Saya baru menyadari belakangan, bahwa yang ayah wariskan bukanlah harta, melainkan prinsip. Ia mengajarkan arti menanam, bukan menimbun. Bahwa yang paling berharga bukan banyaknya uang, tetapi kemampuan hidup dengan tenang tanpa membebani orang lain.

Mungkin saya tidak sebaik ayah dalam hal itu. Saya hidup lebih boros, lebih terburu-buru menikmati hasil. Keluarga di kampung sering mengingatkan, membandingkan gaya hidup saya dengan kedua orang tua yang dikenal hemat dan tekun. Dan benar, saya pernah tersandung di situ, mengalami kesulitan keuangan saat mengelola usaha hingga berutang. Saya terpaksa menjual sebagian kecil aset peninggalan orang tua untuk menutupinya.

Kakak saya sempat berat menyetujui keputusan itu. "Seharusnya kamu sudah bisa punya satu rumah lagi di Dalung," katanya. Sedangkan keluarga di kampung menasihati dengan nada lembut tetapi tegas, "Kamu bersyukur. Orang tuamu dulu pandai mengelola uang, jadi saat kamu kesulitan seperti sekarang, kamu masih punya jalan keluar. Jadikan itu pelajaran penting dalam hidupmu."

Kata-kata itu membekas. Saya mulai menyadari bahwa harta yang sebenarnya bukanlah rumah atau tanah, melainkan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua. Dan seperti benih yang tumbuh dari tanah lama, pelajaran itu baru saya pahami sepenuhnya ketika usia mulai menua dan langkah mulai pelan.

Ada masa ketika kita ingin dikenal. Ada masa ketika kita hanya ingin dikenang. Dan ada masa seperti sekarang, ketika yang kita inginkan hanyalah damai. Pensiun, bagi sebagian orang, terdengar seperti akhir. Tetapi bagi saya, ini justru awal dari bab baru yang lebih jujur. Tidak lagi tentang panggung, tetapi tentang tanah. Tidak lagi tentang ambisi, tetapi tentang kesadaran bahwa semua yang kita genggam pada akhirnya akan lepas, dan itu tidak apa-apa.

Kini, di usia yang menapaki kepala lima puluh, saya mulai menyiapkan masa pensiun yang tenang di kampung. Di atas tanah yang sama, saya ingin membangun Podium Ecosystem dan Kedai Kopi Redaksi. Sebuah ruang kecil tempat saya ingin pulang, menulis, dan berbagi cerita dengan generasi muda. Mungkin di situlah saya akan menua dengan tenang, mengisi hari dengan hal-hal yang sederhana namun bermakna.

Saya mulai belajar menanam, bukan untuk panen, tetapi untuk teduh. Belajar menulis, bukan untuk dibaca, tetapi untuk jernih. Belajar diam, bukan untuk menyerah, tetapi untuk mendengar. Dari hal-hal kecil itu, hidup tumbuh kembali dengan cara yang tidak pernah saya bayangkan.

Mungkin, sebagian dari ketenangan ini adalah doa-doa ayah yang belum selesai. Ia tidak sempat menikmati masa pensiunnya, tetapi benih kesederhanaan dan kerja keras yang ia tanam kini tumbuh dalam diri saya.

Saya tahu, suatu hari nanti tubuh ini akan benar-benar berhenti. Tetapi sebelum itu tiba, saya ingin menumbuhkan hal-hal yang tidak bisa mati: kebaikan, tulisan, dan ketulusan. Saya ingin setiap langkah kecil yang saya tinggalkan menjadi benih bagi yang datang setelah saya, meski hanya sehelai daun di tengah ladang luas kehidupan.

Karena rupanya, hidup tidak berhenti di ujung karier atau usia. Ia hanya berganti bentuk. Dan seperti tanah yang selalu punya musim, manusia pun selalu punya waktu untuk tumbuh, bahkan setelah segalanya usai.

Mungkin inilah warisan sejati dari seorang ayah kepada anaknya. Bukan rumah, bukan tanah, tetapi kesadaran untuk tetap menumbuhkan hidup, bahkan saat dunia mulai pelan. Karena sesuatu selalu tumbuh, di tanah, di hati, di waktu yang kita biarkan berjalan tanpa arah, dalam diam yang tidak ingin apa-apa, kecuali menjadi. (*)

Menot Sukadana