Podiumnews.com / Muda / Tren

Batas Kerja Kabur Picu Tekanan Generasi Muda

Oleh Nyoman Sukadana • 15 November 2025 • 19:34:00 WITA

Batas Kerja Kabur Picu Tekanan Generasi Muda
Pekerja muda duduk letih menatap layar, menggambarkan tekanan kerja digital yang mengaburkan batas kehidupan.

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Fenomena kaburnya batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin dirasakan para pekerja muda di era serbadigital. Kelelahan berkepanjangan, tingginya tuntutan respons cepat, hingga tekanan untuk selalu tersedia menjadi pola baru yang menekan kelompok generasi Z. Hal ini mencuat kembali dalam pemaparan Dosen FEB UGM, Prof. Gugup Kismono, saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di Balai Senat UGM, Kamis (13/11/2025).

Menurut Prof. Gugup, hampir separuh pekerja muda kini mengalami kelelahan yang bersumber dari tuntutan digital yang melampaui ritme kerja normal. Ia menyebut fleksibilitas kerja yang awalnya dianggap sebagai kebebasan justru berubah menjadi tekanan baru. “Fenomena ini menggugah bidang keilmuan saya untuk meninjau kembali bagaimana motivasi, kesejahteraan psikologis, dan perilaku kerja adaptif dapat menjadi dasar kebijakan organisasi yang lebih manusiawi,” ujarnya.

Kebiasaan bekerja dari mana saja sejak pandemi Covid-19 juga disebut membuat banyak pihak menjalani pola kerja baru tanpa kesiapan psikologis maupun sosial. Perubahan setelan kerja ini menimbulkan konsekuensi pada kehidupan rumah tangga dan kesehatan mental. “Konsep awalnya mempererat, tetapi work from home bisa berubah menjadi work from heartburn,” kata Prof. Gugup.

Ia menilai generasi Z sebagai kelompok yang paling terdampak. Bagi generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital, fleksibilitas seringkali dianggap sebagai standar tanpa mempertimbangkan batasan wajar. Di sisi lain, perusahaan turut mempercepat perubahan budaya kerja tanpa analisis kebutuhan. “Fleksibilitas yang tampak menjanjikan justru bergeser menjadi tekanan sosial karena organisasi berlomba mengadopsi tren,” jelasnya.

Selain itu, berkembangnya gig economy yang mengandalkan sistem kerja nonformal juga menambah lapisan tekanan mental bagi anak muda. Pekerjaan yang tampak merdeka di permukaan menyimpan ketidakpastian pendapatan, tidak adanya perlindungan sosial, serta tuntutan untuk terus produktif agar tetap relevan.

Prof. Gugup menekankan pentingnya perusahaan menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan, terutama generasi muda yang rentan menghadapi gangguan mental akibat beban kerja digital. “Produktivitas memang penting, tetapi hidup tidak boleh habis untuk kerja semata. Work life balance adalah kebutuhan yang harus diperjuangkan,” tuturnya.

Ia mengingatkan generasi muda perlu memperkuat acceptance mindset dan berani menetapkan batas kerja demi kesehatan jangka panjang. Sementara itu, organisasi diharapkan membangun budaya kerja yang manusiawi melalui kepemimpinan berbasis empati dan kepercayaan. Prof. Gugup juga menyoroti perlunya dukungan negara dalam menyediakan perlindungan sosial yang inklusif untuk semua jenis pekerjaan.

“Individu yang berdaya, organisasi yang adaptif, dan sistem yang mendukung menjadi tiga pilar keseimbangan kerja demi masa depan kerja yang sehat dan manusiawi,” pungkasnya.

(riki/sukadana)