Kasus Gigitan Ular Naik, Riset Antibodi Baru Muncul
YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Meningkatnya kasus gigitan ular di Indonesia mendorong peneliti mengembangkan terobosan antibodi dari llama dan alpaka untuk membantu penanganan medis. Hingga Oktober 2025, terdapat 8.721 kasus gigitan ular dengan 25 kematian, sementara ketersediaan serum antibisa di beberapa wilayah masih terbatas.
Dosen Fakultas Biologi Universita Gadjah Mada (UGM), Donan Satria Yudha SSi MSc mengatakan bahwa perkembangan riset antibodi hewan tersebut memberi harapan baru di tengah keterbatasan serum yang tersedia. Menurutnya, penelitian yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kemampuan ilmuwan memanfaatkan organisme sebagai sumber solusi kesehatan.
“Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan akibat gigitan ular bukan lagi neglected disease, karena semakin banyak peneliti peduli dan mengembangkan antibisa dengan efektivitas tinggi,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Donan menjelaskan bahwa antibodi dari llama dan alpaka dinilai mampu menetralkan bisa hingga 17 spesies ular. Temuan ini menambah daftar opsi terapeutik yang berpotensi dikembangkan untuk masyarakat yang tinggal di daerah rawan gigitan ular, terutama pekerja sektor pertanian dan kehutanan.
Meski tren riset meningkat, Donan menilai pengembangan serum antibisa di Indonesia masih belum signifikan. Perkembangan lebih terlihat dalam tiga tahun terakhir melalui inisiatif dari BRIN, Kementerian Kesehatan, dan berbagai perguruan tinggi. Indonesia hingga kini hanya memiliki satu jenis serum antibisa polivalen, sehingga dibutuhkan formula yang mampu menangani variasi spesies ular berbisa di berbagai daerah.
Di tingkat universitas, UGM memiliki Venom Research Group yang terdiri dari dosen lintas fakultas. Kelompok ini telah menyelesaikan penelitian karakterisasi bisa ular kobra jawa sebagai dasar pengembangan antibisa modern. “Penelitian tersebut sudah selesai dan akan dilanjutkan dengan spesies ular berbisa lainnya,” ujarnya.
Menurut Donan, tantangan penelitian antibisa di Indonesia tidak hanya soal keterbatasan serum, tetapi juga kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Setiap wilayah memiliki spesies ular berbisa yang berbeda sehingga sulit menentukan komposisi serum yang sesuai untuk seluruh daerah. Ketersediaan venom yang stabil juga menjadi kendala karena fasilitas snake farm belum sepenuhnya memenuhi standar internasional.
Dalam hal penanganan darurat, Donan menekankan pentingnya langkah imobilisasi untuk membatasi pergerakan tubuh setelah terkena gigitan ular. Metode bantalan tekan juga dapat digunakan sebagai pertolongan awal sebelum korban dibawa ke fasilitas kesehatan. “Menenangkan korban juga penting agar racun tidak menyebar lebih cepat,” jelasnya.
Riset antibodi llama dan alpaka yang kini berkembang dinilai mampu memberikan kemajuan signifikan bagi penanganan medis di negara dengan keragaman spesies ular yang tinggi seperti Indonesia. Donan berharap inovasi tersebut dapat dikembangkan secara massal sehingga menjangkau masyarakat yang kerap berada di daerah rawan.
“Inovasi ini saya harap dapat diproduksi massal dan menjangkau masyarakat kita, khususnya petani, peladang, dan orang-orang yang bekerja di hutan,” katanya.
(riki/sukadana)