Depresi Anak Darurat, Literasi Mental Rendah Jadi Akar Masalah
YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com – Peningkatan kasus bunuh diri yang melibatkan anak-anak dan remaja dalam beberapa waktu terakhir telah menjadi sinyal darurat bagi masyarakat Indonesia. Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Kusuma Hidayati MPsi Psikolog, menegaskan bahwa insiden seperti empat dugaan bunuh diri anak yang terjadi dalam sebulan terakhir di Sumatera Barat dan Jawa Barat harus dipandang sebagai "alarm darurat" bagi kesehatan mental generasi muda.
Menurut Nurul, tingginya kasus ekstrem ini dipicu oleh dua tantangan struktural yang saling terkait: rendahnya literasi kesehatan mental masyarakat dan kurangnya komunikasi empatik antar generasi dalam keluarga.
“Ini sudah semacam wake-up call yang harus membuat semua pihak waspada. Anak tidak hanya perlu sejahtera secara prestasi, tetapi juga secara mental,” ujar Nurul pada Rabu (12/11/2025).
Kelelahan Emosional Generasi Digital
Nurul menjelaskan bahwa Generasi Alpha anak-anak yang lahir antara 2010 hingga 2024 memiliki kerentanan unik. Mereka tumbuh dalam paparan teknologi digital yang intensif, hidup di tengah banjir informasi, dan berinteraksi masif di dunia maya. Kondisi ini membuat mereka berisiko lebih dini mengalami kelelahan emosional (emotional burnout).
“Kemampuan pengelolaan pikirannya belum matang, sementara mereka berhadapan dengan tekanan digital yang besar. Kombinasi ini berpotensi membuat anak terjebak dalam tekanan mental yang berat hingga berujung pada tindakan ekstrem,” jelasnya.
Rendahnya Literasi Hambat Deteksi Dini
Tantangan terbesar dalam mencegah kondisi kritis ini adalah rendahnya literasi kesehatan mental di tingkat masyarakat. Nurul menyoroti bahwa masih banyak orang tua dan guru yang belum memahami tanda-tanda awal gangguan psikologis pada anak.
“Akibatnya, deteksi dini tidak terjadi dan masalah psikologis dibiarkan berkembang hingga mencapai titik krisis,” papar Nurul. Selain minimnya pemahaman, komunikasi antar generasi yang berjarak juga menjadi tantangan. “Kurangnya dialog yang empatik antara orang tua dan anak membuat proses pertolongan pertama psikologis tidak berjalan dengan baik.”
Ia menambahkan, pengasuhan yang kini banyak digantikan oleh media digital juga memperparah kondisi. Anak-anak kehilangan kesempatan belajar langsung dari orang tua tentang bagaimana mengekspresikan dan mengelola perasaan dengan sehat, sehingga kemampuan mereka dalam mengatur emosi menjadi rendah.
Desakan untuk Keluarga dan Sekolah
Untuk menekan risiko depresi dan tindakan ekstrem, Nurul mendesak langkah konkret dari keluarga dan sekolah.
Di tingkat keluarga, orang tua perlu menerapkan aturan screen time yang bijak untuk seluruh anggota keluarga. Lebih dari itu, orang tua harus berperan aktif sebagai “pelatih emosi” yang menanamkan contoh ekspresi emosi positif dan terbuka. “Keluarga perlu membangun komunikasi yang suportif dan meningkatkan literasi kesehatan mental agar bisa mendeteksi tanda-tanda awal perubahan perilaku anak,” tegasnya.
Sementara itu, sekolah didorong untuk membangun sistem kesehatan mental berbasis sekolah (school-based mental health system) yang fokus pada upaya promotif dan preventif. Sekolah harus menyediakan mekanisme rujukan ke psikolog, melatih guru sebagai gatekeeper untuk mendeteksi perubahan perilaku siswa, dan mengintegrasikan Pembelajaran Sosial dan Emosional (Social Emotional Learning/SEL) dalam kurikulum.
“Sekolah harus memastikan bahwa setiap anak merasa aman, terbebas dari tekanan sosial maupun perundungan,” tutur Nurul.
Nurul berharap, fenomena bunuh diri di kalangan anak dan remaja ini menjadi momentum refleksi agar generasi Alpha dapat tumbuh di lingkungan yang memvalidasi emosi, mengajarkan literasi emosi, dan berani meminta pertolongan ketika tidak baik-baik saja.
(riki/sukadana)