Podiumnews.com / Aktual / Politik

Pakar Soroti Gejala Remiliterisasi lewat Revisi UU TNI

Oleh Nyoman Sukadana • 16 November 2025 • 16:18:00 WITA

Pakar Soroti Gejala Remiliterisasi lewat Revisi UU TNI
Para narasumber dan peserta dalam Diskusi Publik bertajuk “Hubungan Sipil-Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI” di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (14/11/2025). (Dok/UGM)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kecenderungan menguatnya peran militer dalam ranah sipil kembali mencuat dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada Jumat (14/11/2025). Sejumlah pakar menilai rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) berpotensi menjadi pintu masuk remiliterisasi dan memperluas kewenangan militer di luar fungsi pertahanan negara.

Diskusi bertajuk “Hubungan Sipil-Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI” ini diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil bersama Centra Initiative, Imparsial, Raksha Initiatives, PRISMA, serta Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (Pandheka) Fakultas Hukum UGM. Para pembicara sepakat perlunya kewaspadaan publik terhadap gejala menguatnya dominasi militer pada dinamika politik nasional.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai remiliterisasi terlihat dari meningkatnya tingkat kepercayaan publik terhadap militer yang kemudian dijadikan legitimasi untuk memperluas peran TNI di sektor sipil. Ia menyoroti empat aspek krusial dalam hubungan sipil-militer, yaitu kendali sipil, netralitas politik, profesionalisme militer, dan akuntabilitas.

“Secara perlahan, militer kembali memperoleh kepercayaan publik bahkan melampaui lembaga penegak hukum. Ironisnya, kondisi tersebut sering dijadikan pembenaran untuk memperluas peran militer di luar fungsi utamanya,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa faktor budaya feodal, minimnya pendanaan militer, serta kontestasi keamanan dengan kepolisian turut mendorong keterlibatan militer dalam urusan politik dan pemerintahan. Usman juga menyinggung upaya negara menulis ulang sejarah yang berpotensi mengaburkan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, seperti peristiwa Tanjung Priok dan operasi-operasi militer di Papua.

Dari perspektif gender, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM), Arifah Rahmawati, menilai penggunaan kekerasan oleh aparat militer masih menjadi persoalan serius. Ia mengungkap temuan empirik adanya kasus eksploitasi seksual yang meninggalkan luka antar generasi dan tidak terselesaikan melalui mekanisme keadilan transisi. Arifah memandang kegagalan program hubungan sipil-militer sejak 1978 berakar pada konstruksi identitas maskulin dalam budaya dan institusi militer.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM, Virga Dwi Efendi, menekankan lemahnya pengawasan sipil serta tidak optimalnya mekanisme checks and balances. Menurut dia, keterlibatan TNI dalam program pemerintah seperti Satuan Tugas Makmur Bersama Gotong Royong (Satgas MBG) memperlihatkan pergeseran fokus militer dari tugas pertahanan ke ranah sipil. “Situasi ini dapat menjadi awal aparat bertindak sewenang-wenang ketika pengawasan dan mekanisme peradilan tidak berjalan efektif,” ucapnya.

Visiting Fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Tony Supriatna, menilai rencana pembentukan sekitar 750 batalyon baru serta ekspansi struktur internal militer mengindikasikan pola rekonsolidasi kekuasaan. “Militer kini hadir dalam hampir semua aspek negara sehingga berpotensi membentuk blok politik baru yang mengakar,” katanya.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menegaskan revisi UU TNI serta perluasan peran militer di ranah publik menandai kemunduran demokrasi. Ia mengingatkan pengalaman masa Orde Baru ketika otoritas sipil menjadikan militer sebagai alat kekuasaan yang berujung pada penculikan aktivis dan pelanggaran hak asasi manusia.

Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Sistem Informasi Fakultas Hukum UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, menutup diskusi dengan menekankan pentingnya penguatan kontrol sipil serta peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memastikan democratic civilian control berjalan sebagaimana mestinya.

(riki/sukadana)