Modus Nominee dan Nikah WNA di Bali, DPR Minta Tanah Ditarik
DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Praktik penyelundupan hukum dalam kepemilikan properti oleh Warga Negara Asing (WNA) di Bali dilaporkan semakin marak. Anggota Komisi II DPR RI, Taufan Pawe, secara spesifik menyoroti modus yang dianggap 'mengakali' undang-undang pertanahan, yakni melalui skema nominee (pencatutan nama warga lokal) dan bahkan dengan menikahi masyarakat setempat.
Menurut Taufan Pawe, fenomena ini menyebabkan tanah yang sejatinya dikuasai pihak asing tampak seolah-olah dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), merugikan kepastian hukum dan keadilan agraria bagi masyarakat lokal.
“Tidak sedikit perilaku orang asing ‘memperistrikan orang Bali’ atau memakai orang lain untuk mewakili kepemilikannya,” ujar Taufan Pawe dalam agenda Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II di Denpasar, Bali, pada Jumat (21/11/2025).
Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut menegaskan bahwa penyerobotan ruang kepemilikan tanah oleh pihak asing melalui celah hukum ini makin masif. Hal ini terjadi lantaran WNA tidak dapat memiliki tanah secara langsung (hak milik), sehingga mereka memanfaatkan status WNI dari pasangan atau orang yang dicatut namanya sebagai kedok.
Desak Regulasi Ketat dan Ancaman Penarikan Tanah
Menyikapi temuan ini, Taufan Pawe mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menyusun formulasi regulasi yang kuat dan ketat. Tujuannya adalah menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan WNA.
“Jangan ada kamuflase bahwa tanah itu milik warga negara asing tapi memakai nama orang lain. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Taufan Pawe menekankan perlunya fungsi pelayanan agraria di bidang pertanahan untuk bekerja lebih selektif dalam mencegah praktik penyelundupan hukum. Ia menambahkan bahwa Komisi II DPR akan terus mendorong pembenahan regulasi pertanahan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat Bali.
Mengenai status tanah-tanah yang telah terlanjur dikuasai asing melalui modus ini, Taufan Pawe menilai penarikan kembali (restitusi) tetap dimungkinkan. “Semuanya bisa saja, kenapa tidak? Kita ini negara hukum. Ini fenomena bahwa sistem hukum pertanahan kita memang dari waktu ke waktu harus dibenahi,” tutupnya.
(riki/sukadana)