Slank dan Ironi Bali Bagus
"Terima kasih Baliku untuk budaya dan alammu. Terima kasih untuk cantik gadismu dan kerasnya arak Balimu."
LIRIK yang ditulis Kaka dan Bimbim Slank pada awal era 90-an tersebut bukan sekadar untaian kata, melainkan sebuah prasasti kekaguman. Saat itu, Bali adalah representasi dari pelarian yang sempurna, sebuah ruang di mana waktu seolah melambat, di mana kerasnya arak adalah simbol kehangatan persaudaraan, dan alam adalah hamparan hijau yang belum tercekik beton.
Namun, tiga dekade kemudian, senandung itu terdengar getir. Jika hari ini Slank berjalan di pinggir pantai seperti dalam liriknya, mereka mungkin tidak lagi menemukan ketenangan, melainkan tumpukan plastik kiriman, klakson kendaraan yang bersahut-sahutan, dan genangan air yang meluap setiap kali hujan menyapa.
Paradoks Surga Wisata
Bali hari ini sedang mengalami apa yang disebut oleh para pengamat lingkungan sebagai beban wisata berlebih dan kegagalan daya dukung ruang. Masalah sampah bukan lagi sekadar isu estetika, melainkan krisis eksistensial. Di pantai pantai ikonik, plastik bekas kemasan kini berdampingan dengan sesajen, menciptakan pemandangan yang ironis antara pengabdian spiritual kepada alam dan pengkhianatan ekologis manusia modern.
Kemacetan pun telah bertransformasi dari sekadar hambatan menjadi gaya hidup baru yang menyiksa. Jalanan sempit di Canggu atau Ubud, yang dulunya dirancang untuk ritme kehidupan agraris, kini dipaksa menampung ribuan kendaraan bermotor setiap jamnya. Ruang publik kehilangan fungsi sebagai tempat interaksi, berganti menjadi labirin aspal yang memicu stres.
Tak berhenti di situ, alih fungsi lahan yang masif demi pembangunan properti telah menghancurkan sistem resapan air alami. Akibatnya, banjir kini rutin bertamu ke wilayah yang dulunya kering, menandakan bahwa tanah Bali sudah tak mampu lagi menelan air mata langit.
Simulakra dan Realitas
Untuk membedah fenomena ini, kita bisa meminjam pemikiran filsuf asal Prancis, Jean Baudrillard, mengenai Simulakra. Baudrillard berpendapat bahwa dalam dunia kontemporer, citra seringkali dianggap lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri atau disebut hiper realitas. Bali telah lama dijual sebagai citra surga yang tenang dan spiritual. Industri pariwisata terus mereproduksi citra Bali Bagus melalui iklan, media sosial, dan kampanye global, sementara realitas di lapangan menunjukkan kehancuran ekologis. Turis datang ke Bali untuk mencari citra yang ada di brosur atau media sosial, namun yang mereka temukan adalah kemacetan parah dan sampah di pesisir. Terjadi kesenjangan yang lebar antara Bali sebagai simulakra dengan Bali sebagai realitas material. Kita sibuk merayakan keindahan yang sudah terdistorsi, sambil menutup mata pada fakta bahwa organ vital pulau ini sedang malfungsi.
Krisis Keberadaan Manusia
Dari sisi kemanusiaan dan keterasingan manusia dengan lingkungannya, pemikiran Martin Heidegger tentang Technik sangat relevan. Heidegger memperingatkan bahwa ketika manusia melihat alam hanya sebagai persediaan tetap atau sumber daya yang siap dieksploitasi demi keuntungan ekonomi semata, maka manusia kehilangan hubungan esensialnya dengan keberadaan itu sendiri.
Di Bali, alam tidak lagi dipandang sebagai subjek yang suci sesuai filosofi Tri Hita Karana, melainkan objek komoditas. Sawah bukan lagi tempat memuja Dewi Sri, tapi lahan strategis untuk dikonversi menjadi beton. Ketika alam diperlakukan hanya sebagai alat produksi, maka kerusakan seperti banjir dan sampah adalah konsekuensi logis dari keterasingan manusia atas lingkungannya sendiri. Manusia Bali mulai kehilangan makna ada di sana yang otentik karena hidup di tengah ekosistem yang sudah rusak secara sistemik.
Etika Lingkungan Mendalam
Dalam lirik Slank, Bali digambarkan sebagai tempat untuk sejenak melupakan sesak, sumpek, serta aturan dan larangan di kota Jakarta. Kehadiran alam dan budaya Bali adalah penawar bagi amarah dan ego kota besar. Namun, kondisi Bali saat ini justru menjadi alarm bagi kita semua. Masalah sampah, macet, dan banjir bukanlah fenomena terpisah, melainkan gejala dari satu penyakit yang sama yaitu keserakahan yang melampaui batas ekologis. Kita membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan teknis, kita membutuhkan revolusi kesadaran humaniora.
Meminjam pemikiran Arne Naess tentang Deep Ecology, kita harus menyadari bahwa manusia hanyalah bagian dari jaring jaring kehidupan. Kepentingan ekonomi jangka pendek pariwisata tidak boleh mengorbankan hak alam untuk tetap lestari. Bali butuh jeda. Bali butuh pemulihan yang tidak hanya bersifat kosmetik di permukaan, tapi menyentuh akar masalah manajemen ruang dan pembatasan eksploitasi lahan.
Keharmonisan Alam Sejati
Bali Bagus seharusnya bukan sekadar judul lagu atau slogan di kaos cinderamata. Bagus dalam konteks ini harus bermakna harmonis. Sebuah harmoni di mana ritual keagamaan tidak terganggu oleh aroma busuk sampah di sungai, di mana perjalanan menuju pura tidak terhambat oleh kemacetan yang egois, dan di mana hujan dipandang sebagai berkah, bukan ancaman bencana.
Kita berhutang pada masa depan Bali. Jika kita terus membiarkan pulau ini terbelenggu oleh masalah sistemik ini, maka suatu saat nanti, lirik terima kasih Baliku akan berubah menjadi permintaan maaf yang terlambat. Saatnya kita berhenti melihat Bali sebagai barang dagangan dan mulai melihatnya sebagai rumah yang harus dijaga napasnya. Karena pada akhirnya, apa gunanya arak yang keras jika kita tak lagi punya tanah yang sehat untuk berpijak dan merayakannya?
Menot Sukadana