Podiumnews.com / Kolom / Opini

Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Oleh Podiumnews • 27 Agustus 2021 • 21:31:58 WITA

Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kang Marbawi Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan & Pelatihan Nonformal Informal BPIP dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 60, Bagian ke 1. (Foto: Istimewa)

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan” Soekarno.

“Buku Panduan Menanggulangi Kemiskinan, begitu bunyi judul buku yang ditemukannya. Judul buku itu dicetak tebal. Di bawah terik matahari pukul 2 siang, dia masih berdiri di samping bak sampah tepat di depan sebuah rumah besar. Di dalam bak sampah itu dia menemukan buku bersampul hijau lumut itu. Dia mencoba mengeja judul kecil yang tertulis di bawah judul utama.

Meski tak benar-benar pintar membaca, setidaknya dia bisa mengeja secara perlahan-lahan. Kiat-kiat Mengeluarkan Diri dari Jerat Kemiskinan. Matanya membulat, bibirnya tersenyum sumringah. Dimasukkannya buku itu ke dalam kantong plastik di tangan kirinya.  Sedang di bahu kanannya tergantung karung besar berisi botol-botol plastik hasil memulung hari ini”.

Di atas adalah kutipan pembuka cerita pendek (cerpen) Artie Ahmad yang terbit di Koran Tempo 28-29 November 2020 lalu. Cerpen yang menceritakan seorang pemulung bernama Sukandar yang menemukan buku “Panduan Menanggulangi Kemiskinan”.

Diceritakan, sepulang ke bedengnya, Sukandar meminta anak perempuan semata wayangnya,  Noor Laela, siswi kelas dua SMP, yang bercita-cita ingin menjadi dokter, membacakan dengan keras-keras buku yang dia temukan. Dia berpikir jika dia menerapkan “resep-resep” jitu dari buku yang dia temukan tersebut, mungkin dia bisa merubah nasib dan menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter. Sukandar mendengarkan buku yang dibaca anaknya: salah satu kiat keluar dari kemiskinan dari buku itu adalah dengan menabung. Dan setelah tabungan banyak maka tabungan itu diinvestasikan.

Soal nabungnya, dalam cerpen itu, diikuti Sukandar. Noor Laela menunjukkan celengan dari tanah berbentuk Babi yang diberikan tetangganya Mak Ipah. Walau Sukandar agak menolak nabung di celengan itu, karena menganggap Babi itu haram. Penolakan yang sering kali terjadi dalam realitas masyarakat yang didasarkan atas pemahaman agama yang tekstual.

Cerpen itu juga menunjukkan ketidakmungkinan golongan seperti Sukandar mampu merubah hidupnya dengan cara berinvestasi. Dan bisa jadi Artie ingin mengkritik bahwa buku sebagai simbol atau wujud dari kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok yang mampu mengakses dunia perbankan. Juga paradoks mimpi menjadi dokter bagi Noor Laela, anak pemulung, yang tak mungkin mendapat akses beasiswa.

Cerpen yang dengan kreatif mendiskursuskan dan cenderung mengkontraskan perbedaan sosial-ekonomi: pemulung dan orang kaya yang dilambangkan pemilik rumah besar, keterbatasan akses pendidikan bagi orang-orang yang mungkin “tak dihitung” masyarakat, pemahaman agama yang dangkal-celengan berbentuk babi yang dianggap haram, keinginan Sukandar merubah hidup, agar bisa menyekolahkan anaknya dan dampak sosial di kalangan pemulung.

Membaca cerpen itu seolah, mengingatkan kembali kepada pidato Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 lalu. Salah satu pidatonya Soekarno menyebutkan soal keadilan sosial:

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan…. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”. 

Rasanya cerpen Artie Ahmad adalah gambaran realitas. Golongan masyarakat yang “tak dihitung” karena kondisi sosial, diwakili tokoh Sukandar dan Noor Laela, tetap berhak memiliki mimpi. Kebijakan negara harus juga menjangkau dan dapat diakses oleh golongan yang diwakili tokoh Sukandar dan Noor Laela. Sebab Soekarno menegaskan mewujudkan keadilan sosial adalah tujuan dan tugas dari negara.

Golongan seperti Sukandar dan Noor Laela, Mak Ipah -tokoh pemberi celengan ke Noor Laela, berhak mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Itulah makna Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan itu termaktub dalam Pasal 34 ayat 2 Amandemen keempat dari UUD 1945 menyatakan bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Orang-orang seperti Sukandar membutuhkan realisasi dari pasal 34 ayat 2 tersebut agar terentaskan dari kemiskinan dan mimpi Noor Laela jadi dokter terwujud. Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen adalah alat mewujudkan keadilan sosial.

Oleh: Kang Marbawi Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan & Pelatihan Nonformal Informal BPIP

. (BPIP/COK/RIS/PDN)