Search

Home / Kolom / Opini

Kaset Kusut

   |    27 Desember 2021    |   19:23:31 WITA

Kaset Kusut
Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP. (Foto: doc. bpip/Istimewa)

KASET kusut itu selalu diputar setiap mendekati Dies Natalis dan Nowruz. Orang berebut argumen untuk mencegah dan atau mengucap kata. Seolah kata yang dikeluarkan berdampak pada masa depan diri dan tuhannya. Entahlah!

Padahal subjek yang menjadi musabab itu sendiri adalah penyebar kasih dan keselamatan. Seperti juga Nabi Agung yang menyebar rahmat bagi semesta. Tak beda! Sebab kata kitab suci, tak ada beda antar utusan sang Pencipta Semesta. Sama dalam menyeru kepada Sang Pencipta. Umatnya yang kemudian membatasi pada kesempitan definisi dan cara menjalankan kepercayaan-aqidah.

Nowruz  sendiri sudah diperingati sejak zaman Mesopotamia. Nowruz atau hari baru ditandakan sebagai perayaan kemenangan raja Mesopotamia setelah berhasil membunuh Naga

R. Abdollahy menulis soal Nowruz “Calender II, Islamic Period” dalam Encyclopedia Iranic Vol. 4 tahun 1990. Menurut Abdollahy, Nowruz adalah hari pertama Farvardin dalam bulan pertama Kalender Matahari Iran. Saat ini, interpretasi Nowruz atau hari baru-tahun baru sebagai bentuk semangat baru dengan segenap rencana atau resolusi.

Begitupun Dies Natalis -perayaan hari lahir. Dimaknai sebagai wilayah agama-bahkan aqidah. Padahal juga punya makna sosiologi dan humanis. Manusia akan membawa makna Dies Natalis itu sesuai kecenderungan dan perspektif sosiologis dan konservative. Kecenderungan itu seolah ruang private yang tak berjendela dan tak bisa masuk atau dimasuki perspektif dunia luar. Seolah kepercayaan itu hanya untuk dia dan tuhannya. Padahal Tuhan pencipta alam semesta, menciptakan entitas lain yang memercayai Nya dengan cara yang berbeda.

Subjek Dies Natalis itu seperti disebutkan oleh puisi Jalaluddin Rumi:

Tubuh ini ibarat Maryam. Dan masing-masing mempunyai Isa di dalam diri. Apabila Derita Cinta Datang, maka Isa akan lahir.”

Agama sejatinya suci dan welas asih. Bukan senjata untuk menyerang, menindas dan menghakimi sesama dengan tak manusiawi.

Dalam agama kita berpergian diakui sebagai peperangan dan bahaya” Rumi

Sebab menurut Rumi, Cintalah yang bisa menyatukan sang pencinta dengan Sang Khalik. Maka kemudian bagi Rumi, tidak penting Muslim atau non Muslim, Yahudi atau Nasrani. Yang penting adalah ia menyembah Tuhan yang satu.

“Dalam agama Yesus ia berarti Mengasingkan diri ke gua dan pegunungan Sunnah adalah jalan paling aman dan orang beriman adalah teman perjalan paling baik
Jalan menuju Tuhan itu penuh rintangan dan kepedihan”
.

Pemutar kaset kusut itu adalah kamar-kamar private (perspektif) yang tak berjendela. Tak bisa melihat cerahnya mentari pagi, indahnya pelangi setelah hujan turun, sejuknya semilir angin dan romantisnya terang cahaya bulan. Padahal saat ini zamannya spotify, streaming youtube, apple music atau joox. Bukan kaset kusut lagi.

Maka dengarkanlah spotifynya Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) pada perayaan Natal 27 Desember 1999. 

“Mestinya yang merayakan hari Natal bukan hanya umat Kristen. Melainkan juga umat Islam dan umat beragama lain, bahkan seluruh umat manusia. Sebab, Yesus Kristus atau Isa Al-Masih adalah Juruselamat seluruh umat manusia, bukan Juruselamat umat Kristen saja”. Selamat Hari Natal.


Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP

. (COK/RIS/PDN)


Baca juga: Legalitas Keputusan Pemerintah SKB yang Legitimatif